'SELAMATKAN OPO CS'

Abu Sayyaf Sayat Kedaulatan NKRI


Manado, ME

Episode kelam dunia kemaritiman Indonesia kembali menyembul. Tragedi pembajakan kapal tug boat Brahma 12, gemparkan Tanah Air. Kedaulatan maritim Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), disayat kelompok separatis Abu Sayyaf. Desakan pembebasan sandera pun bergema kencang. Nyiur Melambai lantang bersuara. Pemerintahan Jokowi-JK didesak tidak tutup mata.

 

Kisah penyanderaan 10 Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk 2 warga Sulawesi Utara (Sulut), mengemuka. Kelompok radikal yang terindikasi berafiliasi dengan Al Qaeda, dikabarkan menyandera Kapten dan kru Kapal. Sepuluh WNI jadi korban.

 

Hal ini menuai reaksi keras berbagai pihak. Langkah penyelamatan sandera, masif dikumandangkan. Legislator RI asal Bumi Nyiur Melambai Aditya Moha, menyatakan, sebagai negara berdaulat, Pemerintah Indonesia wajib menjamin hak hidup seluruh rakyatnya."Penting untuk negara menjamin warga negaranya. Terlebih ketika ini bersinggungan dengan hak hidup WNI," katanya saat dimintai keterangan, Selasa (29/3).

 

Negara diminta jangan hanya duduk diam dan menutup mata jika hak hidup rakyatnya terancam. Apalagi jika dilakukan oleh pihak luar negeri. "Negara harus hadir dan membela serta memberi perlindungan terhadap semua WNI," jelasnya.

 

Pemerintah didesak untuk segera bergerak. Baik dengan cara komunikasi lunak lewat pendekatan persuasif, maupun dengan tegas lewat upaya represif."Pemerintah harus lakukan langkah-langkah persuasif sampai dengan langkah represif kalo diperlukan. Karena negara berdaulat menjamin hak hidup warganya. Itu yang terpenting dan sesuai dengan amanat konstitusi.

 

Senator Sulut Marhany Pua juga mengritisi hal ini. Pemerintah diminta mengambil langkah sigap. Jangan biarkan kehadian ini berlarut. Pasalnya, nyawa WNI kini dipertarukan."Pemerintah harus segera mengambil langkah cepat, tegas, dan taktis untuk bebaskan kapal dan para sandera," tegas Marhany.

 

Pemerintah dalam hal ini, seluruh instansi terkait penegakan harus tegas tanpa membuka celah dan menunjukkan Indonesia lemah. Indonesia harus tegas kepada pihak yang mengancam hak hidup rakyatnya."Sedapatnya tanpa kompromi dengan para pembajak," katanya.

 

Sementara, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid meminta pemerintah Republik Indonesia melakukan peran maksimal untuk menyelamatkan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf.

 

Upaya pembebasan 10 WNI tersebut dapat dilakukan dengan cara diplomasi atau cara lainnya."‎Negara harus melindungi seluruh warga negaranya. Menyelamatkan WNI adalah menyelamatkan kedaulatan Indonesia," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Jakarta.

 

Upaya menyelamatkan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf, dianggap dapat menunjukkan keseriusan Indonesia menjaga kedaulatan negara. Indonesia harus bekerjasama dengan pemerintah Filipina dalam upaya membebaskan 10 WNI."Bahkan Indonesia bisa mengangkat masalah-masalah ini ke forum yang lebih besar lagi. Indonesia harus sangat serius karena sudah terlalu banyak pihak yang menciderai kedaulatan Indonesia," tuturnya.

 

Pembebasan 10 WNI yang disandera ini diminta tanpa memberikan uang tebusan yang diminta kelompok milisi Abu Sayyaf itu."Kalau tebusan diikuti Indonesia akan menjadi preseden berikutnya, akan banyak masalah yang menciderai kedaulatan Indonesia," ulas Hidayat

 

Menyandera WNI disamaartikan dengan menciderai kedaulatan Indonesia. Karena itu, pemerintah diminta tidak mendengarkan tuntutan kelompok Abu Sayyaf.‎"Karena ‎kalau dituruti, ini akan menjadi membuka ruang berikutnya mereka main sandera, alangkah menyusahkannya dan tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Menurut saya Indonesia tidak perlu mendengarkan masalah tebusan yang mereka tuntut itu," katanya.


BUPATI SANGIHE SURATI KEMENLU

Penyanderaan 10 WNI penghuni tug boat Brahma 12, langsung diseriusi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sangihe. Bupati Hironimus R Makagansa, langsung menyurati Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melalui Gubernur Sulut. Langkah ini diambil sebab salah satu warga yang disandera militant Abu Sayyaf, yakni Peter Tonsen Barahama, merupakan warga Sangihe. Peter yang akrab disapa Opo bersama 9 WNI lainnya, diduga disandera di sekitar Pulau Tawi-Tawi.

 

Hingga saat ini, belum ada informasi resmi terkait dengan penyanderaan tersebut. Lanal Tahuna, Kolonel Laut (P) Jul Shahnyb, saat dimintai tanggapan melalui telepon genggam, mengatakan belum mendapat informasi yang jelas terkait kejadian tersebut.

 

Sementara itu, Bupati Sangihe Hironimus R Makagansa, mengatakan, setelah mendapat informasi tersebut, Pemkab Sangihe langsung mengambil langkah, dengan menyurati Kemenlu di Jakarta. "Namun terlebih dahulu melaporkan perihal kejadian tersebut kepada bapak Gubenur Sulut,“ aku Makagansa.

 

Ia berharap, melalui surat itu, akan ada tindakan atau langkah-langkah yang akan diambil pemerintah untuk membebasan warga Sangihe serta sandera lainnya.


PEMKOT BITUNG MINTA PEMBEBASAN SANDERA

Sengat separatis di wilayah perairan, begitu kental. Kali ini, sejumlah warga Nyiur Melambai jadi korban keganasan kelompok Abu Sayyaf.

 

Pemerintah Kota (Pemkot) Bitung melalui Kabag Humas Erwin Kontu, menjelaskan, pemerintah segera berkoordinasi dengan instansi terkait penyanderaan 10 ABK kapal tug boat Brahma 12. Alasannya, salah satu sandera terkonfirmasi merupakan warga Kota Bitung.”Dengan kondisi di mana ada satu warga Bitung yang menjadi sandera, tentunya kami dari Pemkot Bitung meminta agar segera dibebaskan,” sebut Kontu.

 

Sebagai pemerintah, merupakan kewajiban jika harus melindungi warganya. Termasuk dari ancaman-ancaman kelompok-kelompok yang berbahaya.”Meskipun itu harus melalui proses. Kami berharap keluarga untuk bersabar,” jelasnya.

 

Menurut informasi, salah satu warga yang terdata sebagai sandera yakni Julian Philip asal Minahasa. Beredar informasi, Julian berdomisili di Kota Cakalang.


LEGISLATOR SULUT : PEMPROV PRESURE PEMERINTAH PUSAT

Langkah cepat pemerintah pusat untuk melakukan upaya pembebasan 10 WNI ABK kapal tug boat Brahma 12, ditunggu masyarakat.

 

Legislator Sulut Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Utara, Meiva Salindeho, berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut, mempresure pemerintah pusat agar segera mengambil tindakan. Selain itu, langkah kerjasama dengan negara lain sangat dibutuhkan. Sebab, hal ini sudah menjadi masalah internasional.

 

“Bagaimana mungkin hal-hal lain bisa kerjasama sementara ini tidak bisa. Selain itu, pihak perusahan juga harus turut bertanggung jawab. Saya harapkan agar keluarga juga bisa tabah menjalani hal ini,” ungkap Meiva.

 

Hal senada ditegaskan Anggota DPRD Sulut, Marvel Dick Makagansa. Politisi PDIP ini mendesak Kemenlu RI untuk segera turun tangan.“Ini bukan karena ada orang Sulut di dalamnya. Tapi memang ini sudah jadi hak dari setiap WNI untuk mendapat perlindungan dari negara. Jadi kami minta Kemenlu untuk menindak-lanjutinya sesegera mungkin,” jelas dia, Senin.

 

Putra Bupati Sangihe, HR Makagansa itu berharap semua kru, termasuk Kapten Peter Tonsen Barahama dalam kondisi yang baik. “Kita berdoa semoga semua kru kapal dan kapten dalam kondisi sehat,” kuncinya.

 

Pemprov Sulut, melalui juru bicaranya, Jemmy Kumendong ketika dimintai keterangan, menyatakan akan segera menindak-lanjuti, informasi tersebut.“Ini pasti akan disikapi,” lugas Kepala Biro Pemerintahan dan Humas Pemprov Sulut,.

 

“Kita akan segera berkoordinasi dengan seluruh pihak terkait, utamanya di pusat untuk mencari keterangan dari informasi ini sekaligus akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut,” tandasnya.

 

RHAMDANI DORONG LANGKAH DIPLOMASI

Senator Sulut Benny Rhamdani meminta pemerintah harus cepat. Pertama mengambil tindakan berkoordinasi dengan pemerintah Filipina.

 

"Pemerintah harus segera berkoordinasi dengan pemerintah Filipina. Dari koordinasi itu diharap akan menghasilkan kedua negara melakukan usaha diplomasi," imbaunya.

 

Namun jika upaya diplomasi juga tetap berujung buntu. Negara harus bertindak tegas walaupun harus dengan kekuatan angkatan bersenjata.

 

"Kalau diplomasi ini buntu, yah mau tidak mau atas nama negara yang berkewajiban menyelamatkan warga negaranya, apapun resiko yang akan diterima negara harus dilakukan. Termasuk kalau harus mengerahkan kekuatan bersenjata," imbuhnya.

 

PERUSAHAAN DIMINTA BERTANGGUNG-JAWAB

Keluarga Kapten Kapal Brahma 12, Peter Tosen Barahama (Opo) yang dilaporkan sedang disandera oleh kelompok milisi Abu Sayyaf di Filipina, angkat suara. Adalah Sam Barahama, kakak kandung Peter.

 

Ia telah meminta perusahaan pemilik kapal agar dapat segera membebaskan adiknya bersama para kru kapal. "Kami sudah menelepon ke pihak perusahaan pemilik kapal dan meminta agar mereka segera bertindak mengambil langkah melakukan upaya pembebasan," desak Sam melalui telepon kepada Kompas.com, Senin.

 

Kata dia, Peter merupakan anak bungsu sudah lama bekerja sebagai pelaut."Ini merupakan kali kedua pelayarannya ke Filipina. Dari informasi yang kami peroleh, jalur pelayaran kali ini memang berisiko," bebernya. Menurut Sam, perusahaan pemilik kapal menjelaskan bahwa saat ini mereka sedang melakukan negosiasi dengan para penyandera mengenai jumlah tebusan uang yang diminta. "Para penyandera meminta tebusan 50 juta peso (Rp 14,2 miliar) dan memberi batas waktu 5 hari, terhitung sejak Sabtu lalu," sembur Sam.

 

POLRI LACAK LOKASI SANDERA, KOPASSUS DILIBATKAN

Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol Ketut Untung Yoga, mengatakan, semua pihak termasuk TNI terlibat langsung dalam proses pencarian 10 WNI yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf. Saat ini, Polri dan TNI fokus mencari lokasi penyanderaan.

 

"Perwakilan TNI juga ada di situ. Kita sama-sama mencari tahu tentang di mana wilayahnya dan di mana kapalnya," kata Untung saat dihubungi wartawan, Jakarta, Selasa (29/3).

 

Menurut Untung, dalam pencarian ini baik pemerintah atau pihak kepolisian bakal mengandalkan kekuatan TNI. Mengingat, dugaan sementara kapal sudah berada di luar wilayah Indonesia."Iya kalau sudah masuk wilayah perbatasan itu kan pasti menggunakan kekuatan-kekuatan TNI yang ada. Tapi kita tetap koordinasi," ujar dia.

 

Untung bahkan tak membantah saat disinggung pencarian bakal melibatkan satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dia menilai, Kopassus memiliki kemampuan untuk melakukan pencarian tersebut. Kendati begitu, dia menegaskan diterjunkan atau tidaknya Kopassus dalam pencarian itu tergantung dari keputusan pimpinan TNI. "Nah itu level-level pimpinan. Pastinya semua pihak akan terlibat," pungkas Untung.

 

Terpisah, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti memastikan kawanan perampok yang menyandera 10 WNI di Filipina adalah kelompok radikal Abu Sayyaf. "Betul (Abu Sayyaf)," ujarnya usai menghadiri rapat terbatas di Kantor Presiden, Selasa kemarin.

 

Badrodin juga mengaku telah mengetahui di mana Abu Sayyaf menawan 10 awak buah kapal asal Indonesia tersebut. Mereka diketahui berada di sebuah tempat Filipina. Kendati begitu, Badrodin menyatakan pemerintah tak mau gegabah dalam mengambil upaya pembebasan.

 

Polri, kata dia, hingga saat ini terus berkoordinasi dengan TNI dan Kementerian Luar Negeri untuk mengupayakan pembebasan terhadap 10 WNI yang ditangkap saat tengah berlayar dengan dua kapal tersebut. "Kita juga sudah koordinasikan ke pemerintah sana, apakah nanti yang menangani dari otoritas Filipina atau di kita. Tetapi, kita sedang menunggu hasil koordinasi," kata Kapolri.

 

Seperti diketahui, dua kapal berbendera Indonesia dibajak saat melakukan perjalanan dari perairan Kalimantan Selatan menuju Filipina. Sebanyak 10 WNI yang menjadi awak kapal tersebut ikut disandera. Pemilik kapal baru mengetahui kapalnya dibajak saat menerima telepon pada 26 Maret lalu. Penelepon mengaku salah satu anggota kelompok Abu Sayyaf.

 

IDENTITAS 10 WNI YANG DISANDERA

Selain warga Sangihe, Peter Tonsen Barahama selaku kapten tug boat Brahma 12 yang menarik kapal Anand 12 yang berisi 7.000 ton batubara, terdapat 9 ABK yang diduga disandera kelompok Abu Sayyaf.

 

Teranyar, komplotan penyandera meminta tebusan 50 juta peso Filipina atau sekitar Rp15 Miliar. Mereka dua kali menghubungi pemilik kapal pada 26 Maret. Pembajak melepas kapal penarik Brahma 12 di Tawi-tawi sedangkan 10 ABK dan Anand 12 yang bermuatan batubara hingga kini belum diketahui posisinya. Diperkirakan, 10 ABK dibawa oleh kelompok Abu Sayyaf Cs ke Pulau Basilan atau Sulu dengan boat. Selain Peter, 9 WNI yang turut disandera adalah Wendi Raknadian asal Padang Sumatera Barat, Julian Philip asal Tondano Utara Minahasa, Alvian Elvis Peti asal Priok Jakarta Utara, Mahmud asal Banjarmasin Kalimantan Selatan, Surian Syah asal Kendari Sulawesi Tenggara, Surianto asal Gilireng Wajo Sulawesi Selatan, Wawan Saputra asal Malili Palopo, Bayu Oktavianto asal Delanggu Klaten dan Rinaldi asal Makassar.(mrd/rep/kmc/tim ms)



Sponsors

Sponsors