'OLLY PASANG BADAN'

Abu Sayyaf Deadline 8 April


Manado, ME

Serangan militan Abu Sayaff melukai Nyiur Melambai. Menyandera warga Sulawesi Utara (Sulut) tak berdosa, membuat masyarakat daerah ini, murka. Nada ‘perang’ getol dikumandangkan. Reaksi cepat pun meluncur dari Sang Pemegang Mapatu jazirah utara Pulau Selebes, Olly Dondokambey.

 

Diakui, sepak terjang kelompok Abu Sayyaf yang membajak kapal tug boat Brahma 12, dikenal cukup membahayakan. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari National Counter Terrorism Center (NCTC) Amerika Serikat, Abu Sayyaf merupakan kelompok militan Islam yang dibentuk pada 1990-an dengan dana bantuan mantan pemimpin Al-Qaidah Usamah Bin Ladin. Kelompok ini bermarkas di Mindanao Barat atau Maluku besar, Filipina Selatan dan mendeklarasikan Mindanao Barat sebagai negara islam merdeka. Kelompok ini memang dikenal dengan aksi brutalnya seperti pengeboman, pembunuhan, pemerasan, dan penyanderaan.

 

Untuk menyelamatkan sandera, berbagai komponen Tanah Air, turun tangan. Kolaborasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Pemerintah Indonesia bahkan Pemerintah Filipina, begitu kental. Sederet langkah strategis masif dijabal.

 

Di Sulut, aksi Pemerintah Provinsi (Pemprov), langsung terlihat. Gubernur bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), mengunjungi keluarga korban penyanderaan. Gubernur mengatakan, dia akan terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat, agar ke-10 WNI yang disandera kelompok garis keras Abu Sayyaf segera dibebaskan.

 

"Besok (hari ini, red) saya akan ke Jakarta menemui Menlu (Menteri luar Negeri) untuk mengetahui perkembangannya. Pihak kami akan berupaya yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini, sebab beberapa korban merupakan warga Sulut,” jelas Dondokambey.

 

Langkah strategis yang dilakukan, Pemprov terus berkoordinasi dengan Kemenlu RI serta berbagai pihak terkait di Indonesia dan Filipina, termasuk di antaranya langsung berkomunikasi dengan Menlu Filipina.

 

“Pemerintah Indonesia akan terus bekerja keras dan berkoordinasi untuk menyelamatkan 10 WNI yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf tersebut,” tandas Gubernur.

 

Terkait hal itu, Senator Sulut Benny Rhamdani angkat bicara. Ia mendesak pemerintah untuk cepat bertindak. Pertama, mengambil tindakan berkoordinasi dengan pemerintah Filipina.

 

"Pemerintah harus segera berkoordinasi dengan pemerintah Filipina. Dari koordinasi itu diharap akan menghasilkan kedua negara melakukan usaha diplomasi," imbaunya.

 

Namun, jika upaya diplomasi juga tetap berujung buntu. Negara harus bertindak tegas walaupun harus dengan kekuatan angkatan bersenjata."Kalau diplomasi ini buntu, yah mau tidak mau atas nama negara yang berkewajiban menyelamatkan warga negaranya, apapun resiko yang akan diterima negara harus dilakukan. Termasuk kalau harus mengerahkan kekuatan bersenjata," imbuhnya.


BERHARAP JULIAN PHILIP PULANG

Kegetiran mendera salah satu korban penyanderaan Abu Sayyaf di Tondano Kabupaten Minahasa. Adalah Keluarga Julian Philip.

 

Keluarga mengaku merindukan Julian untuk kembali ke rumah. Mereka berharap, salah satu ABK kapal Brahma 12 yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina pada 26 Maret lalu, segera dibebaskan bersama para sandera lainnya.

 

Demikian istri Julian Philip, Femmy Wowor yang juga diketahui berasal dari Kota Tomohon."Kami kelurga berharap Julian dan teman-temannya bisa secepatnya dibebaskan," pinta Wowor.

 

Menurut dia, terakhir bertemu dengan korban pada Desember tahun 2015 dan langsung berangkat ke Banjarmasin untuk bekerja di kapal Brahma sebagai Ceef Officer."Pada hari minggu lalu, Julian menelpon untuk memberitahukan bahwa kapal mereka dibajak," paparnya.

 

Menurut informasi, para pelaku meminta uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14,2 Miliar. Istri Julian menjelaskan, dari informasi yang diterima, pihak perusahan telah bersedia membayar tebusan tersebut sambil menunggu pemerintah untuk bernegosiasi dengan para pembajak.

 

"Kami keluarga berharap agar para korban bisa secepatnya dibebaskan. Julian saat ini sudah berkeluarga dan mempunyai seorang putra," tuturnya. Keluarga meminta bantuan doa untuk pembebasan korban penyanderaan.

 

KELUARGA KAPTEN PETER MINTA PEMERINTAH BERTINDAK CEPAT

Keluarga Kapten Peter Tonsen Barahama atau akrab disapa Opo, nakhoda kapal tug boat Brahma 12 yang disandera kelompok Abu Sayyaf, meminta pemerintah bertindak cepat dan tepat.

 

Mereka berharap anaknya bersama sembilan awak kapal lainnya dapat segera dibebaskan dengan selamat."Kami berharap perhatian serius dari pemerintah untuk dapat segera membebaskan anak kami dengan selamat," ujar Charlos Barahama, ayah Peter saat ditemui di rumah keluarga yang berada di Kelurahan Molas Lingkungan V, Kecamatan Bunaken.

 

Ia bersama istri dan beberapa anggota keluarga lain terlihat sedih atas kejadian yang menimpa Peter. Hingga kini, dikatakannya, belum ada informasi resmi dari pemerintah maupun perusahaan tempat Peter bekerja.

 

Menurut keluarga kapten Opo, kabar pembajakan kapal yang di nakhodai bungsu dari tiga bersaudara ini di dapat dari anak sulung yang berada di Kabupaten Sangihe, Minggu (27/3)."Semoga kita segera dapat informasi jelas tentang keberadaan anak kami tersebut dari pemerintah," tutur Charlos yang merupakan warga Kabupaten Kepulauan Sangihe.

 

PERKETAT PERBATASAN

Episode pembajakan kapal Pandhu Brahma 12, menjadi catatan kelam kedaulatan maritim Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Ketua Komisi I, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut, Ferdinand Mewengkang, mengakui, insiden dari Abu Sayyaf sudah berlangsung cukup lama. Makanya, sangat penting jika Pemerintah Indonesia, terus memperkuat wilayah perbatasan.

 

“Perbatasan ini perlu dilengkapi dengan pengamanan memadai. Supaya, segala sesuatu yang mencurigakan dapat cepat diselesaikan. Syukur jika Kodam (Komando Daerah Militer) akan dibentuk di Sulut, itu akan memperkuat pengamanan di teritorial Indonesia khususnya di wilayah perairan Nyiur Melambai,” tegasnya.

 

Ia mendesak, pemerintah pusat segera menyelesaikan persoalan penyanderaan yang dilakukan militan Abu Sayyaf. Karena, masalah ini menyangkut nyawa manusia. “Karena mereka sudah berani meminta tebusan. Tidak menutup kemungkinan akan ada tindakan merkeka untuk menyulitkan sandera.”

 

Sebelumnya, Legislator Sulut Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Utara, Meiva Salindeho, berharap Pemprov Sulut, mempresure pemerintah pusat agar segera mengambil tindakan. Selain itu, langkah kerjasama dengan Filipina sangat diperlukan. Sebab, hal ini sudah menjadi masalah internasional.“Bagaimana mungkin hal-hal lain bisa kerjasama sementara ini tidak bisa. Selain itu, pihak perusahan juga harus turut bertanggung jawab. Saya harapkan agar keluarga juga bisa tabah menjalani hal ini,” ungkap Meiva.

 

Senada dijelaskan anggota DPRD Sulut, Marvel Dick Makagansa. Politisi PDIP ini mendesak Kemenlu RI untuk segera turun tangan.“Ini bukan karena ada orang Sulut di dalamnya. Tapi memang ini sudah jadi hak dari setiap WNI untuk mendapat perlindungan dari negara. Jadi kami minta Kemenlu untuk menindak-lanjutinya sesegera mungkin,” jelas dia.


UPAYA PENYELAMATAN SANDERA

Proses pembebasan 10 WNI yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf, terus bergulir. Berbagai manuver dilakukan pemerintah dan TNI, khususnya berkoordinasi dengan Angkatan Bersenjata Filipina.

 

Demikian Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Dia mengaku terus berkoordinasi dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Gregorio Pio Catapang Jr, untuk membahas pembebasan 10 WNI yang disandera. Sebab, TNI harus meminta izin terlebih dahulu dengan angkatan bersenjata Filipina soal lokasi penyanderaan.

 

"Seperti disampaikan Menlu, prioritas kita menyelamatkan warga negara. Kemudian sekarang berdasarkan monitor koordinasi chief Filipina Jenderal Daily lokasi ada di negara Filipina, mereka sudah tahu tempat setiap saat koordinasi saya menyampaikan apa pun yang diperlukan kami siap, siap bagaimana urusan saya," urai Nurmantyo di Mabes TNI, Rabu (30/3).

 

Menurut dia, jika TNI diminta untuk membantu angkatan bersenjata Filipina, pihaknya akan selalu siap. Dia pun terus memantau dan berkoordinasi dengan pihak Filipina. Panglima TNI juga membantah pasukan TNI sudah berada di Lanal Tarakan, Kalimantan. "Tarakan memang ada pangkalan laut pasukan PPRC sedang melakukan persiapan kegiatan setiap tahun melakukan kegiatan PPRC di sana," aku dia.

 

Saat disinggung mengenai persiapan pembebasan, dia enggan menjawab. "Itu urusan saya," ungkap dia yang juga menjelaskan bahwa kelompok militan Abu Sayyaf mempunyai banyak pecahan yang terpisah di Filipina. "Kelompok Abu Sayyaf punya faksi banyak, sempalan mana sedang diteliti. Kita hanya bantu saja, ya tukar informasi."

 

BATAS WAKTU HINGGA 8 APRIL 2016

Sebuah video di akun Facebook yang diduga milik salah seorang anggota Abu Sayyaf beredar. Dalam rekaman itu, mereka mengancam akan menghabisi nyawa sandera 10 ABK Indonesia jika uang tuntutan 50 juta peso atau sekitar Rp14,3 Miliar tidak dipenuhi. Kelompok teroris itu memberikan batas waktu hingga 8 April 2016.

 

Tuntutan itu disampaikan oleh kelompok tersebut kepada pemilik kapal. Seperti dilansir dari Inquirer, Rabu (30/3), militer Filipina mengatakan pemerintahnya mempunyai kebijakan tak akan memberikan uang tebusan. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, mengatakan pihaknya telah melakukan segala kerja sama dengan Filipina.

 

"Prioritas kami adalah keselamatan 10 warga Indonesia yang hingga kini masih berada di tangan penyandera," sembur Retno.

 

SEPAK TERJANG KELOMPOK ABU SAYYAF

Kelompok Abu Sayyaf selama ini dikenal cukup membahayakan. Berdasarkan informasi yang dihimpun NCTC Amerika Serikat, Abu Sayyaf merupakan kelompok militan Islam yang dibentuk pada 1990-an dengan dana bantuan mantan pemimpin Al-Qaidah Usamah Bin Ladin.

 

Kelompok ini bermarkas di Mindanao Barat atau Maluku besar, Filipina Selatan dan mendeklarasikan Mindanao Barat sebagai negara islam merdeka. Kelompok ini memang dikenal dengan aksi brutalnya seperti pengeboman, pembunuhan, pemerasan, dan penyanderaan seperti yang dilakukan terhadap 10 WNI yang tengah berlayar di perairan Filipina.

 

Bahkan pada tahun 2014 pemerintah Filipina pernah menembak mati 12 anggota kelompok Abu Sayyaf di Pulau Basilan, Filipina Selatan sekitar 900 Kilometer di selatan Ibu Kota Manila. Serangan itu terjadi setelah pemerintah Filipina memutuskan melancarkan operasi memburu dua pimpinan kelompok terkait Al-Qaidah itu.

 

"Puruji Indama dan Isnilon Hapilon kini masih diburu," ujar Birgadir Jenderal Carlito Galvez, komandan militer di Basilan.

 

Bahkan Filipina sempat dicekam kekhawatiran dengan banyaknya turis asing yang diculik. April 2000 kelompok militan ini menculik 21 orang, 10 diantaranya warga negara Malaysia, di sebuah penginapan di Filipina Selatan. Tahun 2001 kelompok ini juga membunuh tiga warga negara Amerika dan 17 warga Filipina di Palawan.

 

Februari 2012, pasukan militer filipina pernah berhasil melumpuhkan kelompok Abu Sayyaf di Pulau Jolo akibat dari operasi ini pemimpin senior kelompok Abu Sayyaf, Gumbahali Jumdail tewas. Kelompok ini juga pernah menyandera salah seorang warga Australia selama 15 bulan. Meski rekam jejak kelompok ini cukup ganas, Pemerintah Indonesia optimis mampu membebaskan 10 WNI yang disandera.(mrd/rep/lip6/tim ms)



Sponsors

Sponsors