
Swara Parangpuan Kuak Angka Kekerasan Terhadap Perempuan di Sulut
Manado, ME
Swara Parangpuan gelar Launching Catatan Tahunan (Catahu) Situasi Kekerasan Terhadap Perempuan di Sulawesi Utara (Sulut) 2019, di Best Western The Lagoon Hotel, Manado, Selasa (10/12).
Data lembaga nonpemerintah ini dipaparkan. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, Swara Parangpuan telah mendampingi 179 kasus. Tahun 2017 berjumlah 72 kasus, 2018 berjumlah 55 kasus, dan 2019 berjumlah 52 kasus.
Koordinator Program Swara Parangpuan Sulut, Mun Djenaan mengatakan, trendnya menurun. Hal ini disebabkan informasi terkait adanya lembaga layanan yang disediakan oleh pemerintah sudah terdistribusi.
"Sebaran kasus tertinggi ada di kota Manado sebanyak 33%, disusul Minahasa Selatan sebanyak 29%, Minahasa Utara sebanyak 13%, Minahasa sebanyak 9%, Bolaang Mongondow Timur sebanyak 7%, Bitung sebanyak 5%, Tomohon dan Bolaang Mongondow masing-masing 2%, Minahasa Tenggara dan Sangihe masing-masing 1%," kata Djenaan.
Untuk ranah kekerasan tertinggi ada di domestik sebesar 57%, ranah publik 43%. "Relasi pelaku dengan korban didominasi oleh orang yang dikenal seperti ayah, kakak, adik, paman, tante, suami, pacar, mantan pacar, tetangga, teman, kepala sekolah, majikan, atasan. Kemudian orang yang baru dikenal dan tidak dikenal," ucap Djenaan.
Ia juga menjelaskan bentuk layanan yang bisa diakses oleh korban yakni layanan hukum, layanan pengaduan, layanan rehabilitasi, layanan kesehatan dan layanan reintegrasi sosial. "Layanan hukum yang diakses oleh korban sebanyak 65%, layanan pengaduan/laporan 27%, layanan rehabilitasi sosial 21%, layanan kesehatan (medis dan psikologis) 2% dan reintegrasi sosial 1%," jelasnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga memaparkan biaya yang dikeluarkan untuk pendamping dan korban sebanyak 174 orang sebesar Rp.261.000.000.
"Dirata-ratakan satu orang korban dikeluarkan sebesar satu juta lima ratus ribu (Rp.1.500.000). Rincian biaya yang dikeluarkan, akses layanan hukum Rp. 90.000.000, akses layanan psikologis Rp 40.000.000, akses layanan medis Rp.65.000.000, akses layanan rehabilitasi sosial Rp. 66.000.000," tambah Djenaan.
Aktivis perempuan ini juga berharap, pemerintah harus menjadikan isu perempuan dan anak program prioritas dalam penyusunan perencanaan
pembangunan daerah.
"Sehingga adanya jaminan anggaran untuk memberikan perlindungan kepada korban. Kalau perlu segera membuat kebijakan daerah. Menyediakan layanan yang dibutuhkan korban secara menyeluruh dan berkelanjutan hingga pemberdayaan," tutup Djenaan. (Anugrah Pandey)