Menggugat Pelanggaran HAM di Sulut, Buku Rakyat Bukan Sansak Dibedah


Manado, MX

Buku karya Pitres Sombowadile, “Rakyat Bukan Sansak, Menguak Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Sulawesi Utara (Sulut),” dibedah. Berbagai persoalan yang terjadi di Bumi Nyiur pun dipaparkan dalam diskusi buku yang mengusung tema “Pemerintah, Korporasi dan Pelanggaran HAM” ini. Diskusi ini digelar di Aula Kantor Penghubung DPD-RI Provinsi Sulut, Rabu (5/5).

Sombowadile mengatakan, empat kasus pelanggaran HAM dikisahkan dengan terinci dalam buku ini. Dua kasus terkait agraria dan dua kasus lain terkait tambang. Empat kasus yang diurai sama-sama terkait dengan korporasi. Sama-sama juga terkait dengan investasi. Baik modal milik pihak asing, maupun modal anak negeri.

"Pelaku pelanggaran HAM sudah pasti melibatkan pihak-pihak terkait korporasi. Tetapi, pelanggaran HAM berupa penggunaan kekerasan untuk menghalau rakyat dari hamparan lahannya, terjadi oleh beberapa kesatuan dari aparat keamanan negara," kata Pitres.

Ia menambahkan, pada kisah dua perusahaan asing tambang, satu kasus investasi harus tutup usahanya. Karena aktivitas tambang di pulau kecil bertentangan dengan undang-undang. Gugatan para warga pulau telah mengalahkan korporasi itu lewat proses peradilan yang panjang. Hukum yang terbukti berkuasa.

"Tapi, usaha tambang emas yang beroperasi di Minahasa Utara dan Bitung ternyata demikian perkasa. Berbagai pelanggaran aturan dan HAM sudah terjadi sekian lama," ungkapnya.

"Pelanggaran HAM terkait lingkungan terjadi ketika dokumen AMDAL-nya sudah kadaluwarsa. Tetapi, tidak membuat perusahaannya ditindaki. Karena instansi negara yang mengurus administrasi tambang terus bekerja menjaga dan melindungi korporasi tambang. Kadang memang beberapa instansi pemerintah berperan seolah-olah sebagai abdi korporasi," sambungnya.

Lebih lanjut, pada kasus penghalauan akses rakyat kecil atas sumberdaya tanah terjadi di wilayah Poigar, Bolaang Mongondow dan di Likupang, aparat telah difungsikan untuk menindaki rakyat. Penindakan itu seolah merupakan pelaksanaan eksekusi, padahal tidak ada satupun putusan serta perintah pengadilan untuk itu.

"Sungguh miris nasib rakyat. Saat proteksi hukum dan jaminan hak-hak mereka diabaikan lembaga-lembaga negara, rakyat potensial menjadi sansak. Ketika fungsi negara absen, maka predikat rakyat hanyalah penderitaan," tuturnya.

Di tempat yang sama, aktivis HAM Sulut, Jull Takaliuang mengatakan, buku yang disusun kembali oleh Pitres Sombowadile ini adalah pengalaman-pengalaman yang Yayasan Suara Nurani lakukan. Lembaga ini sudah bekerja dari tahun 2004, tetapi yang tercover dalam buku tersebut baru empat kasus, belum semuanya.

"Masih ada lima kasus yang akan ditulis lagi. Ini kelihatannya belum ada investigasi dan belum lengkap karena  terlihat tadi ada beberapa masukkan atau kritik dan saya lihat itu sangat baik. Karena memang belum sempurna, ada hal-hal yang memang perlu ditambah lagi kalau kami memang akan menerbitkan untuk edisi berikut ini," kata Takaliuang.

Menurutnya, buku ini mengingatkan semua pihak karena selalu ada pelanggaran HAM terkait pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam (SDM) yang mengeksploitasi alam secara masif. Masyarakat tidak diperhitungkan sebagai subjek. Masyarakat selalu dianggap sebagai objek. Ketika datang izin, mereka harus menyerahkan semua dan ketika masyarakat menjadi korban atas eksploitasi masif, mereka dibiarkan sehingga negara seakan-akan tidak hadir dalam persoalan-persoalan HAM di mana hak mereka terserabut.

"Saya mendorong ini dibukukan, apakah kemudian ini menjadi semacam refleksi bagi negara ini, bahkan bagi kita semua pekerja-pekerja kemanusiaan untuk semacam pelajaran. Apabila di dalam proses-proses advokasi ada yang ingin mereka ambil, silakan diambil. Tapi kemudian mereka melihat titik lemah kita di sini, silakan mereka mengambil cara yang lain," ujarnya.

"Tetapi sampai hari ini belum ada perubahan perspektif dan paradigma pemerintah terkait pengelolaan SDA, apalagi terkait dengan bagaimana pemenuhan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan layak seperti yang dijaminkan UU (undang-undang) lingkungan hidup maupun UUD 1945, yang mensyaratkan bahwa negara menjamin warga masyarakat untuk hidup di tempat yang sehat dan layak," sambungnya.

Ditambahkannya, kalau hal tersebut jaminan untuk HAM yang dikaitkan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), berarti negara ini pekerjaannya melanggar HAM.

"Tadi juga ada koreksi dari beberapa kawan yang mengatakan, salah satu stekholder utama di dalam persoalan-persoalan penting ini adalah agama, tidak hanya gereja. Memang pengalaman kita selama ini dalam melakukan advokasi, biasanya pihak gereja bersama-sama dengan korporasi dan saya tidak mau menutup-nutupi karena memang faktanya seperti itu," terangnya.

"Saya memberikan satu contoh di Pulau Bangka, itu Pak Kapolsek mengajak menyanyi orang Cina, mereka tidak tahu bahasa Indonesia. Ada rekaman di dalam gereja diajak menyanyi dengan teks bahasa Indonesia lagu Alangkah Bahagianya, tetapi mereka tidak tahu bahasa Indonesia. Orang ini baru habis lari pagi dan datang di situ. Buat kita gereja itu walaupun tidak memakai baju bagus tetapi dalam beribadah itu paling tidak kita dalam keadaan siap untuk beribadah," sambungnya.

Ditambahkannya, selain itu ada pendeta yang ditemui mengatakan orang yang menolak pertambangan adalah pemabuk dan iblis.

"Itu kan sudah sangat melukai perasaan jemaat yang diterapi psikis melalui agama. Kalau sudah stekholder utama diam dan sudah bersatu dengan korporasi, lalu siapa yang melindungi rakyat? Lalu negara ini terdiri dari apa? Ini kan ada rakyat, wilayah dan ada pemerintah. Lalu kondisi-kondisi seperti ini dipertahankan terus ke depan, kita mau jadi apa apalagi. Dengan Omnibuslaw sekarang ini, tiba-tiba ada izin-izin dan perkembangan Sangihe baru dikeluarkan pada bulan Januari pasca onibuslaw karena mereka melihat ada jaminan investasi dari negara," tandasnya. (Eka Egeten)