Sebut Hak Masyarakat Adat, Legislator Sulut Desak Pemerintah Tutup Area Pertambangan PT DBL


Manado, MX
Kasus penembakan dan penganiayaan warga adat Toruakat terkait konflik dengan perusahaan tambang emas PT Bulawan Daya Lestari (BDL) di Kabupaten Bolaang Mongondow, masuk di meja hearing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut). Wakil rakyat Gedung Cengkih meminta pemerintah menutup area penambangan PT DBL dan memberikan hukum kepada pemilik perusahaan atas jatuhnya korban jiwa.
 
Hal itu mencuat ketika Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow (Amabom) membawa aspirasi ke DPRD Sulut, Senin (4/10). Mereka diterima Wakil Ketua DPRD Sulut Victor Mailangkay, Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulut, Herol Vresly Kaawoan dan Sekretaris Komisi IV DPRD Sulut Julius Jems Tuuk yang hadir juga sebagai Ketua Lembaga Koordinasi Pemangku Adat Indonesia.
 
Masyarakat adat Bolmong yang hadir sewaktu kejadian, Saleh Mokoagouw, menyampaikan kronologisnya. Ia menjelaskan, kejadian awal pada tanggal 27 September 2021, masyarakat dikumpul oleh kepala desa di lapangan. Ini untuk rencana masyarakat adat akan naik ke perkebunan Bolingongot untuk pergi mematok batas dari wilayah tanah adat desa Toruakat. Sebelum mereka berangkat, dikumpul Sangadi seraya mengarahkan kepada mereka supaya jangan pergi membetulkan batas-batas wilayah tanah adat dengan membawa barang tajam dan minuman keras (miras).
 
“Karena kita mau bacerita bae. Ketika kami naik di wilayah tanah adat itu, sampai sudah dijemput oleh preman-preman dari perusahaan. Dijemput dengan samurai dan tombak. Ketika itu diamankan oleh petugas yang ada di atas. Sebelumnya kami melapor ke Polres (Kepolisian Resor) Bolmong. Di atas itu sudah steril sebelumnya oleh polisi yang ada di situ. Ketika kami bermohon untuk mematok batas tanah adat, tapi tidak ada dari pihak perusahaan yang ketemu dengan kami, cuma polisi. Setelah itu kami mematok batas dengan baliho adat yang kami pasang di puncak,” jelas Saleh.
 
Mereka kemudian meminta kepada petugas agar alat-alat yang ada di lokasi segera diangkat. Begitu pula dengan preman-preman yang ada di lokasi itu harapannya segera dipulangkan. 
 
“Tapi apa yang terjadi ketika kami selesai berdiskusi, kami mematok batas itu, segera dari preman itu sengaja beraksi, sudah kase kaluar pisau, mulai dusu torang pe anak-anak. Di situ terjadilah tembakan. Kami di situ mau ambil kita punya hak, datang dengan orang tua yang pakai tongkat naik sama-sama dan anak-anak. Itu kami tidak ingin pergi berkelahi, itu kami hanya mau mengambil hak patok batas, hak tanah adat kami,” urainya. 
 
Muliadi Mokodompit, Sekretaris Amabom menyampaikan, pihaknya mempertanyakan terkait dengan legal standing dari PT BDL. Dari yang mereka pantau di media massa, sesuai dengan penjelasan Bupati Bolmong, sudah berakhir pada tahun 2019. 
 
“Lepas dari itu yang katanya sudah berakhir, namanya tanah adat tidak bisa diberikan izin kepada perusahaan manapun. Tanpa izin dari masyarakat adat sendiri. Yang jelas tidak ada izin dari masyarakat adat. Bahkan tidak diberitahu tiba-tiba saja perusahaan sudah beroperasi,” ungkapnya. 
 
Dijelaskan lagi, terkait dengan posisi apakah di situ merupakan tanah adat atau tidak, menurutnya masyarakat adat ini sudah ada sebelum negara ada. Tanah adat ini diuraikannya, sesuai dengan undang-undang yang terakhir ada rudicial review oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012. 
 
“Sudah disampaikan dengan jelas pengakuan terhadap hak asal usul dan dijelaskan Undang-Undang 1945. Di mana ada pengakuan hak asal usul, jadi ketika suatu komunitas punya sejarah budaya, kesenian dan ritual masih ada maka tanah adat itu artinya bukan hanya tanah yang sehari-hari digunakan tapi hutannya diakui, tempat tinggalnya, perkebunannya, lautnya, pantainya bahkan semua yang ada di atasnya merupakan hak milik mutlak dari masyarakat adat yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Bahkan mengatasnamakan negara pun tidak bisa kalau masyarakat adat itu tidak menyetujui,” tegasnya. 
 
Anggota DPRD Sulut, Julius Jems Tuuk yang juga Ketua LKPSI Sulut, menegaskan pihaknya menyampaikan beberapa hal dan sikap atas apa yang terjadi di PT BDL. Di sana menurutnya, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
 
“Oleh Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) nomor 52 tahun 2018, di mana wilayah ini adalah wilayah adat, masyarakat adat dan hukum adat,” tegas Tuuk.
 
Dijelaskannya, peristiwa ini bermula hanya karena masyarakat ingin mendatangi tanah adatnya dalam rangka menegakkan hukum adat. Namun justru pemilik adat dibantai di tanah adat masyarakat Toruakat. 
 
“PT BDL dalam hal ini pemiliknya melakukan penghinaan, perampokan, pelecehan terhadap masyarakat adat. Bukan saja terjadi pada masyarakat Toruakat tetapi pada keseluruhan adat yang ada di Bolmong,” semburnya.
 
Selanjutnya dijelaskan Tuuk, jangan sampai juga membebankan tuntutan kepada masyarakat yang ikut menjaga PT BDL karena mereka di sana juga hanya cari makan. Dia menyebut ini ada pengkaburan dari pihak perusahaan yang melakukan adu domba antara masyarakat. 
 
“Dan saat ini seolah-olah masalah ini dibenturkan antara masyarakat keamanan yang ada di BDL dan masyarakat adat. Padahal mereka juga anak-anak adat (masyarakat yang melakukan keamanan di BDL) karena ketidakpahaman mereka,” jelas anggota dewan provinsi (Deprov) daerah pemilihan Bolmong Raya ini.
 
“Maka dari itu saya mendesak Polda (Kepolisian Daerah) Sulut segera menangkap pemilik BDL. Kalau bisa hukum maksimal, hukum mati. Dari gedung rakyat, kalau ada pasal yang bisa menuntut hukuman mati karena otak dengan membenturkan masyarakat datang dari pemilik PT BDL. (PT BDL, red) merusak, merampok menghina, melakukan  pelecehan terhadap masyarakat adat Bolmong maka segera mereka yang diuber, dikejar, jangan persoalan ini dibebankan kepada masyarakat yang diambil dan sengaja dibenturkan. Saya akan melihat sampai sejauh mana Polda Sulut akan objektif melihat persoalan ini pimpinan,” tandas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. (Eka Egeten)