Tuuk: Pemerintah Pusat Doyan Keluarkan Izin Untuk Kapitalis


Manado, MX
Sorotan tajam dilayangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut), Julius Jems Tuuk kepada pemerintah pusat. Kurang berpihaknya mereka terhadap kepentingan penambang rakyat kecil jadi alasan. Izin yang diberikan dinilai berat kepada para orang kaya.
 
Tuuk awalnya memulai dengan menceritakan sosok pahlawan Indonesia asal Sulut yang ahli pertambangan dan geologis, Arie Fredrik Lasut. Dirinya ditunjuk Presiden Soekarno menjabat Kepala Jabatan Tambang dan Geologi di Indonesia. Belanda kemudian melakukan agresi, 7 Mei 1949 dan Arie ditangkap di rumahnya. Ia dipaksa menyerahkan dokumen kekayaan alam di Indonesia. 
 
"Sama sekali dia tidak berikan. Lasut kemudian ditangkap dipukuli sampai mati pada 7 Mei 1949. Jadi, ada cerita tokoh Sulut yang mempertahankan mineral di Indonesia. Kalau Arie Lasut bilang dokumennya ada di mana, pasti dia tidak dihukum mati. Dia digebukin sampai mati dan sebagai penghargaan dia diberikan gelar pahlawan. Ini memperlihatkan semangat mempertahankan mineral itu datang dari putra kawanua," kata Tuuk, 
saat rapat pembahasan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Sulut terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan Rakyat Dalam Bidang Pertambangan Mineral di Sulut, belum lama ini, di ruang serba guna DPRD Sulut.
 
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini kemudian mengungkapkan, ada yang menarik dan jadi perdebatan yakni terkait judicial review pasal 22 dan 52 Undang-Undang nomor 4 tahun 2009. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 30/PU/VIII/2010, tertulis dalam menetapkan pertambangan suatu wilayah prioritaskan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Sementara yang terjadi sekarang, para kapitalis atau orang kaya terus diberikan karpet merah terkait izin oleh pemerintah. 
 
"Sekarang ini pemerintah pusat hobi mengeluarkan izin kepada orang kaya. Bukan karena berdasarkan kewenangan tapi menurut saya memang karena hobi. Saya juga tidak tahu kenapa masyarakat kecil tidak mendapat perhatian kementerian ini (ESDM, red)," tegas wakil rakyat daerah pemilihan Bolaang Mongondow Raya ini dalam rapat yang dipimpin Ketua Bapemperda DPRD Sulut, Careig Naichel Runtu didampingi Wakil Ketua Melky Pangemanan dan Kristo Ivan Lumentut.
 
Dirinya mengungkapkan, seharusnya Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) memberikan perhatian kepada penambang rakyat. Seperti perhatian pemerintah yang diberikan kepada petani atau nelayan. Menurutnya, sektor pertanian ada bantuan kepada petani maka seharusnya hal yang sama berlaku ke para penambang rakyat.
 
"Jujur pimpinan sebagai anggota DPRD, ini sudah jelas di mata kita. Dinas Pertanian berikan bantuan benih milu (jagung), tractor dan lain lain. Perikanan berikan pancing, katinting dan lain-lain. Perkebunan diberikan bibit kelapa dan pala. Sekarang kita tanya, Kementerian ESDM berikan apa? Kita sudah tahu tambang butuh betel dan martelu. Ini hanya harganya Rp30 ribu tidak pernah berikan, yang hanya diberikan (mencap, red) bilang ini PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin)," tegasnya.
 
Bagi Tuuk, di mata ESDM penambang rakyat hanya seperti pencuri. Padahal menurutnya, pencuri itu adalah para pengusaha penambang yang menggunakan alat berat. "Bagaimana mungkin ini negara menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi di ESDM, dia tidak pernah berikan apa-apa ke rakyat justru dia bilang PETI. Ini cuma bahasa yang dipermoi. Bahasa sehari-hari seperti mo bilang, cuma papancuri ini penambang rakyat, nda ada izin. Tapi kalau bicara fakta di lapangan, yang papancuri itu penambang yang gunakan alat berat. Perjuangan kita bukan melindungi penambang-penambang yang pakai eksavator. Penambang rakyat cuma pakai betel dan martelu. Kalau ada yang bilang tadi ditangkap bulldozernya dan policeline, itu bukan penambang rakyat, itu pengusaha," jelas legislator vokal ini.
 
Ditegaskannya, wilayah perjuangan untuk membuat ranperda adalah penambang rakyat. Dalam putusan MK menurutnya sudah jelas, untuk menetapkan area pertambangan harus memrioritaskan WPR. Bahkan sebelum Wilayah Pencadangan Negara (WPN) ditetapkan, kalau ditemukan ada WPR maka harus diberikan terlebih dahulu ke masyarakat penambang. Baru kemudian keluar Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau kontrak karya. 
 
"Tapi hari ini tidak seperti itu. Pemerintah hobi berikan IUP kontrak karya dan tidak memperhatikan amanat dari konstitusi. Ketika masyarakat datang, lebih selesai ini hidup masyarakat. Mereka dicap PETI tanpa izin," jelasnya. 
 
Dirinya juga mengkritisi pemerintah daerah kabupaten yang ada di Sulut, yang tidak pernah memberikan izin untuk WPR. Pasca reformasi justru perhatian tersebut tidak ada. Dicontohkannya, seperti yang terjadi di Mitra maupun di Bolmong. Pemerintah daerah sekarang di sana tidak pernah memberikan izin untuk WPR. Menurutnya, mereka hanya terus memberi izin kepada para pengusaha. Padahal WPR pengelolaannya diserahkan ke kabupaten. 
 
"Ini fakta yang kita lihat hari-hari. Jadi apakah pemerintah kita memikirkan nasib rakyat atau cuma kepentingan pengusaha-pengusaha," tandas Tuuk. (Eka Egeten)



Sponsors

Sponsors