Konflik Agraria Dikupas di Muswil AMAN ke-III, Tuuk: Negara Jangan Sewenang-wenang Menjual Tanah Adat


Mitra, MX

Konflik agraria menguat di Bumi Nyiur Melambai. Masyarakat adat sebagai pemilik hak atas tanah harus jadi korban. Atas nama kontrak karya, banyak tanah di Sulawesi Utara (Sulut) dikuasai oleh perusahaan tambang raksasa. Rakyat diusir dari tanahnya. Para penambang yang menambang di tanahnya diusir, mereka yang berkebun di tanahnya diusir, banyak pelanggaran HAM terjadi di sana.

Hal ini diutarakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut Julius Jems Tuuk, dalam Musyawarah Wilayah (Muswil) ke-III Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara (Sulut), di Komunitas Tou Pasan Ratahan, Desa Minanga Tiga, Kecamatan Pusomaen, Selasa (27/9). Ia mengatakan, negara bisa mengelola tanah adat dengan catatan berbicara dengan masyarakat adat sebagai pemilik tanah.

"Negara jangan sewenang-wenang menjual tanah adat dengan wilayah konsensi. Seolah-olah ada pemaksaan di sana dan faktanya demikian, tanah ini harus dipaksa dijual. Kalau rakyat tidak mau jual jangan dipaksakan, apa hak negara kalau masyarakat tidak mau menjual tanahnya kepada para cukong-cukong tanah itu. Biarkanlah masyarakat adat hidup sejahtera di tanah nenek moyangnya," kata Tuuk.

Lebih lanjut dijelaskannya, aturan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), syarat dari satu negara berdiri adalah memiliki tanah, wilayah dan rakyat.

"Bung Karno ketika memerdekakan Indonesia tidak memiliki rakyat dan tanah. Yang punya tanah adalah para raja nusantara, para klan atau marga. Justru itu, pasal 33 tidak tertulis bumi, air yang terkandung di dalamnya dimiliki oleh negara. Yang memberikan kuasa itu para pemilik tanah. Pemahaman saya seperti itu. Jadi kembalikanlah fungsi tanah kepada masyarakat," lanjut Tuuk yang juga politisi Partai Berlambang Moncong Putih (PDIP).

Ditambahkannya, dalam judicial review Undang-Undang (UU) nomor 4 pasal 29 terkait dengan wilayah pertambangan yang notabene yang ada di wilayah tanah ulayat atau tanah adat.

"Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan dalam pasal 33 ayat 3 yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat," ujarnya.

Ia menuturkan, MK mengambil keputusan untuk wilayah pertambangan. Negara harus eksekusi daerah pertambangan rakyat, wilayah pencanangan, ijin usaha pertambangan dan wilayah kontrak kerja.

"Tapi yang di dapati hanya diberikan kepada perusahan-perusahan besar, karena perusahaan itu banyak uang. Sering di dapati tanah di wilayah adat terusik, bagaimana kaum kapitalis menguasai tanah adat dan berkolaborasi dengan penguasa," ujarnya.

"Mereka selalu mengatakan penambangan rakyat merusak lingkungan, kalau perusahaan besar tidak merusak lingkungan. Tapi tidak ada dalam kebijakan pemerintah untuk membuat penambang rakyat ini menjadi bagus," tandasnya. (Eka Egeten)