GPS Layangkan Surat Terbuka untuk KPU


Manado, MX
Gerakan Perempuan Sulut (GPS) lawan kekerasan terhadap perempuan dan anak kritisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023.
 
GPS adalah gerakan solidaritas, yang tumbuh dari himpunan berbagai organisasi, lembaga dan perseorangan yang peduli terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masalah ketidakadilan gender di Sulawesi Utara. GPS terdiri dari unsur-unsur lembaga layanan dan pendampingan korban, lembaga lintas agama, organisasi kepemudaan/kemahasiswaan, pusat studi gender universitas, media, serta para akademisi, tokoh agama, dan jurnalis.
 
Sebagaimana diketahui, KPU telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Faktanya, Pasal 8 ayat (2) PKPU tersebut inkonstitusional dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana dalam Pasal tersebut diamanatkan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Sedangkan klausul pada Pasal 8 ayat (2) jelas sangat berdampak pada berkurangnya keterwakilan perempuan.
 
Koordinator GPS, Ruth Ketsia mengatakan, tanggal 10 Mei 2023 Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan penolakan dan menuntut KPU merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023. KPU bersama dengan Bawaslu dan DKPP merespons aspirasi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan dengan menyatakan secara meyakinkan di muka publik bahwa KPU akan melakukan perubahan pada Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No 10/2023.
 
Pada tanggal 17 Mei 2023 diselenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diikuti oleh Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait PKPU No. 10 Tahun 2023. 
 
"Kesimpulan dalam RDP ini adalah Komisi II DPR RI meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota," katanya.
 
Ditambahkannya, KPU tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan pemerintah yang meminta untuk tidak merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023. Padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU/XIV/2016 bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat. Atas sikap KPU yang tidak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 PKPU 10/2023, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah mengirimkan surat terbuka kepada KPU, Bawaslu, dan DKPP pada Jumat, 19 Mei 2023.
 
Secara garis besar, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyatakan kepada ketiga lembaga tersebut.
 
Pertama, somasi kepada KPU menuntut KPU melaksanakan kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatan, menerapkan prinsip mandiri dengan segera menetapkan revisi Pasal 8 PKPU 10 Tahun 2023 untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 7 Tahun 2017.
 
"Mendesak KPU secara transparan segera mempublikasikan data terkait pencapaian keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftar calon legislatif dari daftar bakal calon anggota legislatif yang telah diajukan oleh partai politik, untuk memastikan apakah semua partai politik telah memenuhi ketentuan tersebut di semua daerah pemilihan," kata Ruth. 
 
GPS menuntut KPU melaksanakan prinsip profesional, transparan dan akuntabel, melakukan perbaikan terhadap Sistem Teknologi Informasi Pencalonan (SILON) dan memberi akses informasi kepada Bawaslu dan masyarakat untuk melakukan pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada SILON.
 
Somasi kepada Bawaslu, menuntut Bawaslu melaksanakan fungsi pengawasan dan menerbitkan rekomendasi kepada KPU agar melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai sumpah jabatan, menerapkan prinsip mandiri, tegak lurus menegakkan konstitusi dan UU pemilu, dan segera menetapkan revisi PKPU No 10 Tahun 2023 dalam waktu 2x24 jam untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 7 Tahun 2017.
 
"Jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu sebagaimana angka 1, Masyarakat Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu segera menggunakan kewenangan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017," jelasnya. 
 
"Mendesak Bawaslu segera mempublikasikan hasil pengawasan terhadap daftar bakal calon anggota legislatif yang telah didaftarkan oleh partai politik untuk memastikan apakah aturan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif dipatuhi oleh semua partai politik di semua daerah pemilih," tandasnya. 
 
Ditambahkan Ruth, pihaknya juga melaksanakan upaya somasi kepada DKPP. Menuntut DKPP melaksanakan kewajiban hukum sesuai sumpah jabatan untuk menjaga kemandirian penyelenggara pemilu dan menegakkan kaidah/norma etika yang berlaku bagi penyelenggara Pemilu.
 
Mereka menuntut DKPP memastikan KPU melaksanakan kewajiban hukum sesuai sumpah jabatannya dan kode etik penyelenggara Pemilu, menerapkan prinsip mandiri, segera menetapkan revisi PKPU No.10 Tahun 2023 untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UU No.7 Tahun 2017.
 
"Kami menuntut DKPP memastikan KPU melaksanakan prinsip profesional, transparan dan akuntabel, melakukan perbaikan terhadap SILON dan memberi akses informasi kepada Bawaslu dan Masyarakat untuk melakukan pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada sistem informasi pencalonan," ujarnya.
 
Merek juga menuntut DKPP memastikan Bawaslu melaksanakan sumpah jabatannya sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 134 UU No.7 Tahun 2017 dan kode etik penyelenggara Pemilu yakni bekerja secara sungguh-sungguh menegakkan demokrasi dan keadilan. Melakukan fungsi Pengawasan kepada KPU agar melaksanakan prinsip mandiri tegak lurus menegakkan konstitusi dan UU Pemilu, segera menetapkan revisi PKPU No.10 Tahun 2023 untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UU No.7 Tahun 2017.
 
"GPS sebagai gerakan masyarakat sipil di daerah, serta sebagai bagian integral dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, yang menyuarakan keterwakilan perempuan dari Lembaga Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) provinsi dan kabupaten/kota juga keterwakilan perempuan di legislatif, bergerak bersama dengan gerakan nasional dan mendukung penuh penolakan terhadap PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota," katanya.
 
"Demikian pernyataan sikap dan tuntutan GPS untuk menjadi perhatian serius, untuk segera dipenuhi hak partisipasi perempuan dalam sistem politik demokrasi di Indonesia, sebagaimana dijamin dan diamanatkan dalam konstitusi dan UU Pemilu. Jika tidak ditindaklanjuti maka akan dilakukan langkah hukum selanjutnya. Salam Demokrasi. Tiada Demokrasi Tanpa Keterwakilan Perempuan," tandasnya. (Eka Egeten)
 



Sponsors

Sponsors