
Foto: Denni H.R. Pinontoan.
Kuncikan
Oleh : Denni H.R. Pinontoan (Akdemisi UKIT, Pegiat Budaya, Penggerak Mawale Cultural Center)
Hari itu, Minggu 25 Januari 2015.
Di meja makan sebuah keluarga di Motoling tersaji: tinoransak, RW, paku, pangi, mujair goreng, nasi bungkus. Di meja keluarga lain bahkan kodok yang dimasak dengan bumbu ransak melengkapi menu kuncikan. Minuman ringan, seperti coca-cola, sprite dan fanta menambah sesak meja makan. Seperti biasa, cap tikus atau minum beralkohol lain seperti Kasegaran tak lupa disiapkan.
Di rumah keluarga-keluarga tertentu minuman bir menghiasi meja kecil di ruang tamu. Kue, seperti fantasi, spekulas, kacang goyang, dll sisa pesta Natal dan Tahun Baru juga masih tersaji. Beberapa keluarga menambah dengan nasi jaha atau kue jenis keik coklat dan kue bolu.
Itu semua ada di tengah suasana pesta Kuncikan. Sebuah pesta rakyat. Meski tidak semua wanua Minahasa merayakannya, namun di beberapa tempat di tanah ini, itu memang masih menjadi kebiasaan.
Orang-orang tahu saja namanya ‘Kuncikan’. Soal sejarah dan mengapa dinamakan ‘kuncikan’, sepertinya itu tidak penting lagi dibandingkan dengan keramaiannya. Di gereja-gereja, dalam ibadah Minggu di hari Kuncikan itu, hampir tidak terdengar pendeta menyinggung dalam khotbahnya soal asal usul dan makna ‘kuncikan’ itu.
Ketika ditanya ke orang-orang tua yang berumur 60 tahun ke atas, mereka hanya akan mengatakan, ini kebiasaan dari dulu. Dilaksanakan Minggu pertama setelah Tahun Baru atau hari Minggu terakhir. Bahkan, ada yang mengatakan lagi, “Dulu tare, setiap hari Mingggu itu Kuncikan. Artinya, setiap hari Minggu itu, orang-orang mo masak makanan yang berbeda dengan hari biasa. Kong, depe suasana masih sama deng Natal atau Tahun Baru.”
Kenapa namanya ‘Kuncikan’? “Oh, mungkin stou depe maksud mo kunci samua tu keramaian Natal deng Tahun Baru,” begitu kata mereka. Sebuah penjelasan yang samar.
Di jalan utama dan lorong-lorong kampung yang di sana sini dihiasi lubang, keramaian segera menjadi pemandangan usai ibadah di gereja. Di pinggiran kanan dan kiri jalan mobil beragam jenis dan merek, baik punya pribadi maupun disewa dari rental milik para tamu dari luar kampung terpakir berbaris. Motor-motor lalu lalang di jalanan. Kampung sungguh sangat ramai di hari Kuncikan itu.
Di sore hari, di jalan utama ada sekelompok orang berpakaian aneh sedang mengelilingi kampung. Siapa saja yang bersua di jalan dengan ramah mereka sapa sambil berjabatan tangan. Kalau anda sempat bertemu dan berjabatan tangan dengan seorang yang memakai busana perempuan, jangan langsung percaya kalau ia benar-benar perempuan. Biasanya, kelompok ini memparodikan diri mereka dengan berganti pakaian. Perempuan memakai pakaian laki-laki, dan laki-laki sebaliknya.
Mereka itulah “kaceba” atau “figura’. Pertunjukkan yang khas di Kuncikan.
Dari Fosso Mangelur
Meski kata figura berasal dari kata Spanyol yang berarti bentuk atau sosok, namun tidak berarti kuncikan diimport orang-orang Minahasa dari sana.
Paul Richard Renwarin, antropolog Minahasa di bukunya Matuari wo Tona’as (2007) mengisahkan sebuah cerita dari Desa Kali, Pineleng, Tombulu. Cerita ini tentang kebiasaan tempo dulu orang-orang Kali menghadapi ‘roh-roh jahat’ yang datang menyerang komunitas mereka. Berikut penggalan cerita yang dikutip Renwarin dari J. Louwerier dari artikelnya De Legenden Van Kali, een negerij in de Minahassa (1883):
Sekali waktu warga Kali harus berperang melawan se sakit, roh-roh jahat yang mengembara tanpa kelihatan.Kehadiran mereka hanya diketahui bilamana daun te’ep (semacam palem, artopacus blume) bergoyang. Untuk melawan mereka, penduduk harus menggunakan satu batang lidi dari pelepah aren. Jika daun te’ep bergoyang, mereka harus memukulnya beberapa kali sampai daunnya mengeluarkan noda (darah). Itulah tandanya bahwa roh-roh jahat itu telah mati. Lalu orang-orang menyangka bahwa semua roh-roh jahat itu sudah dimusnakan, padahal mereka keliru, karena masih ada 3 roh jahat yang bersembunyi pada sebatang pohon aren.
Diceritakan selanjutnya, bahwa pada malam hari, saat penduduk tertidur roh-roh jahat keluar dari persembunyiannya dan mengambil beberapa keluarga sebagai mangsa. Keesokan harinya, penduduk melihat ada tiga tangga rumah yang tidak diturunkan. Itu tanda bahwa roh-roh jahat telah memangsa orang-orang di tiga rumah itu. Maka, penduduk menjadi sadar, mereka telah dikalahkan oleh roh-roh jahat. Nah, sebagai cara untuk membujuk roh-roh jahat tersebut, warga Kali membuat sebuah ritual khusus, yaitu fosso mangelur.
Fosso mangelur kemudian dipakai juga sebagai cara untuk membersihkan wanua pada saat padi akan mulai ditanam. Salah satu yang mereka lakukan adalah menipu roh-roh jahat itu dengan bertindak aneh. Misalnya, memakai tiga daun di atas kepalanya. Sebanyak 9 ekor babi, 9 ekor ayam dan 9 butir telur disajikan. Ini tanda bahwa penduduk wanua tidak akan lagi berperang melawan roh-roh jahat itu.
Jadi, pesta kuncikan yang kini dilaksanakan menutup pesta Tahun Baru dengan figuranya berasal dari fosso mangelur atau ritual pembersihan wanua itu.
“Beberapa elemennya tampil kembali: dahulu ini dirayakan pada awal penanaman padi baru, kini ini merupakan suatu pesta Tahun yang Baru, dan masih merupakan pesta rakyat,” tulis Renwarin.
Elemen-elemen itu, misalnya muncul dalam kaceba atau figura: perempuan memakai pakaian laki-laki dan laki-laki memakai pakaian perempuan. Para pemeran kaceba atau figura sekarang mungkin tak sadar, bahwa dengan memakai pakaian yang ‘menipu pandangan’ ini, sebenarnya mereka sedang memperagakan ulang apa yang ada di fosso mangelur sebagai cara untuk menipu roh-roh jahat.
Di wanua Poopo, Kecamatan Ranoiapo, Minahasa Selatan bahkan yang paling jelas. Setiap perayaan pesta Kuncikan, sudah pasti akan tampil di jalanan orang-orang yang memakai topeng besar menyeramkan. Tradisi ini disebut ‘wolai’ (monyet), sebuah peragaan sosok roh-roh jahat. Kalau dulu, roh-roh jahat ini ditakuti, sekarang di pesta kuncikan dijadikan sebagai parodi.
Kini, pesta kuncikan, yang berakar dari fosso mangelur itu, oleh orang-orang Minahasa sudah menghayatinya sebagai bagian dari perayaan kekristenan. Gereja dilibatkan atau melibatkan diri pada pesta rakyat itu. Seperti halnya, Natal dan Tahun Baru, pesta makan-makan dan keramaian kampung digelar sepaket dengan ibadah di gereja-gereja.
Inilah sebuah pertautan antara tradisi Minahasa dengan kekristenan dari Barat: pesta makan-makan, minum-minum, kaceba atau figura.
Pesta, Pesta dan Pesta
Kuncikan adalah pesta. Setahun, kehidupan orang-orang Minahasa akan diwarnai dengan pesta. Pesta keluarga di Hari Natal dan Tahun Baru. Baru kemudian, pesta kuncikan. Di pertengahan tahun, sebuah pesta yang juga berakar dari tradisi dirayakan,pengucapan syukur.
Di beberapa wanua di Tomohon serta Wanua Keroit di Minahasa Selatan, hari raya gerejewi Paskah juga dirayakan sebagai pesta. Pun, peristiwa duka juga dirayakan dalam bentuk pesta: kumawus, makan bersama seminggu memperingati seseorang yang meninggal, kemudian menyusul 40 hari dan bahkan sampai 1 tahun.
Pesta-pesta keluarga lainnya seperti misalnya ‘rumamba’ atau penahbisan rumah baru dan lahan kebun baru. Bahkan, orang-orang Minahasa juga melaksanakan pesta untuk syukur, misalnya karena seseorang telah berhasil dalam studi atau berhasil melewati satu fase kehidupan, baik secara adat maupun gerejawi.
Pesta yang berakar dari tradisi Minahasa maupun dari tradisi kekristenan atau pertautan keduanya adalah ‘ritual’ kehidupan. Pesta di sini adalah makan-makan, minum-minum, keramaian dan perjumpaan orang-orang yang diikat secara darah atau asal atau juga karena hubungan-hubungan yang lain.
Dalam pesta apapun, hal penting di dalamnya adalah perjumpaan yang akrab. Sebuah cara bagi orang-orang Minahasa untuk mempertahankan kebersamaan. Kebersamaan dalam ketegangan kreatif dengan individualitas. (***)