
Foto: Londolah Tiwalat.
Tempat Perjanjian Antara Leluhur Tonsawang Dengan Kiong
Titik Pertemuan Londolah Tiwalat Ke'dong dan Tiwalat Bako
Laporan: Hendra Mokorowu
Sebuah londolah (sungai) mengalir dari hutan dan perkebunan sampai melewati perkampungan Wanua Tombatu, kemudian bermuara ke pantai Belang. Beragam nama diberikan oleh masing-masing penduduk wanua-wanua setempat yang dilalui sungai ini. Di daerah hilir sungai ini ada dua sungai yang bertemu yaitu, kuala dari perkebunan Penganen Tombatu bernama Londolah Tiwalat Ke’dong (Anak Sungai Tiwalat) dan kuala dari hutan lindung Tombatu bernama Londolah Tiwalat Bako (Sungai Tiwalat Besar). Pertemuan kedua sungai ini dinamakan Po’galumana atau tempat pertemuan dua anak sungai (Dari kata dasar Galung, dalam bahasa Tonsawang berarti bertemu/bersatu).
Londolah Tiwalat (Sungai Tempat Perjanjian), pusat situsnya berada di sekitar perkebunan Lambiha, kira-kira 2 km dari Wanua Tombatu. Tempat ini menjadi pokok dari asal usul kenapa leluhur Tonswang menamai sungai ini dengan “Tiwalat”. Terdapat air terjun kecil terapit dinding kiri dan kanan sungai yang menyerupai kelewonang (seperti pintu) lebar kira-kira 120 cm. Asal mula dari penamaan Tiwalat, karena di sini pernah diadakan sumpah antara manusia dan roh-roh dari hutan. Sumpah dimana intisarinya bahwa di sini adalah batas jangkauan kiong agar supaya tidak masuk sampai ke wilayah pemukiman dan pertanian. Dahulu sebelum diadakanya perjanjian ini, pada musim hujan, dunuh (air bandang) datang dari hutan dan menyerbu wilayah pemukiman sehingga memporak-porandakan persawahan yang sudah ditanami padi. Dunuh datang membawa material padat seperti batu-batu besar dan potongan-potongan kayu besar yang sudah mati. Terpaan arus air bandang dan hantaman batu serta tumbukan kayu besar menghancurkan litir (pematang) kuala dan pematang sawah sehingga padi yang ditanam leluhur hancur berserakan. Akibatnya, manusia pada masa itu menderita kerugian yang tidak kecil. Pengalaman pahit itulah yang mendasari tindakan leluhur Tonsawang pada masa itu untuk melaksanakan dumahes (ritual) perjanjian sumpah yang kemudian intinya adalah untuk kepentingan kebaikan masa depan mereka sampai pada anak cucu mereka.
Frans Lengkong, tokoh adat Tonsawang menguraikan cerita tentang Londolah Tiwalat yang diwarisi turun temurun masyarakat Wanua Tombatu. “Di batas kuala ini diadakan sumpah antara leluhur Tonsawang dumarahes (manusia) dengan kiong (jiwa-jiwa dari hutan) bahwa jika air besar datang maka batu-batu hitam di kuala tidak akan melewati batas. Kalaupun ada, maka batu yang tadinya batu hitam bersifat keras akan berubah menjadi batu lembek yang kemudian dengan sendirinya akan hancur menjadi pasir kuala,“ terangnya.
Itu sebabnya, menurut Lengkong, aliran kuala mulai dari batas ini sampai ke kampung, tidak ada lagi batu-batu besar dan keras. “Jadi memang butul-butul ini torang pe leluhur sangat berjasa for torang orang Tonsawang, terlebih penduduk petani di Tombatu. Bukang main dorang pe sayang pa torang dorang pe turunan. Akhirnya torang bisa ba tanang padi sampe panen nyanda tako banjir mo bage torang pe kobong pece, memang aneh tapi nyata,” ungkap Lengkong.
“Memang benar, bi’boho aho sipat niaho kehehoi kiong bo dumarahes (di situ adalah batas antara roh-roh hutan dan manusia) yang dibuat oleh leluhur Tonsawang. Ja’di sa pilahen, niana bukti bahwa manga matu’a manga morowot (jadi bisa dilihat dari sini bukti bahwa orang tua-orang tua dahulu adalah orang-orang yang kuat) sehingga mereka mampu melakukan hal itu,” tambah Jony F.J.A. Kindangen.
Menurutnya, maksud diadakannya tempat batas itu adalah “hine nia’i ndo’ong ahi’i pasemberenoai i nahe ndere’ (agar supaya kampung Tombatu tidak tercemar dengan lumpur).”
“Wa’aho mainjo kauntungan hita i suku Tonsawang sa manguma a pangumaan to’ba kemel talud bo bia’i talewe’, kaihiwianem i nanah Toundanouw Tonsawang ahadai talewe’ (itu keuntungan yang dapat dipetik oleh kita suku Tonsawsang, kalau bertani atau bercocok tanam di tanah yang subur dan sekarang sudah dinikmati oleh turunan Toundanouw Tonsawsang sampai saat ini),” ungkap mantan Hukumtua Tombatu Satu pada tahun 1980-1986 ini.
Situs Tiwalat bila dikaitkan dengan falsafah Tonsawang, ‘tou masawang’ (orang yang suka menolong atau baku bantu), secara tidak langsung leluhur telah membantu turunannya dalam dunia pertanian sehingga dengan tentram masyarakat Wanua Tombatu bertani. Di masa itu walaupun tidak semodern dunia sekarang tapi para leluhur sudah punya pemikiran luar biasa yang luhur buat masa depan keturunan anak cucu-nya. Mereka menjaga aliran sungai karena tahu bahwa air adalah salah satu unsur yang penting bagi kelangsungan mahluk hidup, tidak ada pencemaran air sungai dan danau, tidak ada pembalakan hutan dan tidak ada penghancuran tanah. Air sungai memberikan kehidupan bagi tanah yang dilalui alirannya, termasuk manusia yang hidup di atasnya. Salah satu manfaat dari sungai Tiwalat yang masyarakat Tombatu rasakan hingga sekarang adalah pengairan alami ke tanaman padi pada kurang lebih 200 hektar persawahan, yang hasil panennya sudah lebih dari cukup digunakan sebagai makanan pokok untuk menyambung kehidupan masyarakat Tombatu.(*)