
Foto: Foto Bersama Selesai Dialog.
Kebudayaan Minahasa Kritis, Tou Kawanua Gelar Dialog
Manado, ME
Kebudayaan Minahasa di era sekarang ini sepintas terlihat lemah dan hampir tak berdaya. Terbeban dengan hal ini, Tou Kawanua membuat Dialog Budaya bertemakan 'Problem Solving', "Masalah-masalah Kebudayaan Minahasa Kekinian", Jumat (19/6), di cafe 178 jalan 17 Agustus, Manado, pukul 14.00 WITa sesuai undangan.
Kegiatan yang bertajuk diskusi tersebut disponsori oleh Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata (STIEPAR) Manado, Mawale Movement, Cafe 178, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Komunitas Budaya Tiong Hoa Minahasa, Mawale Advokasi dan Waraney Wuaya. Dalam kepengurusan Yayasan Tou Kawanua Nicolaas Tampi sebagai penasihat, ketua umum Theresia Rooroh, sekretaris jendral (Sekjend) Pieter Kopero Pongoh serta LO Febri Loho dan Christy Manarisip.
Turut hadir, empat Doktor yang menjadi jaringan Mawale seperti Dr Drevi Malalantang ketua STIEPAR Manado, Dr Meiske Liando MPd, DR Veronika Kumurur Arsitek Lingkungan dan Dr Ivan Kaunang MHum Sejarawan/Budayawan yang menjadi narasumber sekaligus pemandu diskusi.
Dalam pertemuan itu Pongoh selaku Sekjend menyampaikan visi dan misi dari perjuangan Tou Kawanua. Kemudian mengenai masalah pemetaan untuk ditindaklanjuti pada program yang peduli terhadap kebudayaan Minahasa.
"Pemetaan akan ditindaklanjuti pada program yang berpihak pada budaya," tutur Kopero.
DR Ivan R. B. Kaunang MHum menyorot masalah kebudayaan Minahasa sekarang ini. Ada begitu banyak kasus-kasus pengrusakan situs sejarah dan budaya peninggalan leluhur Minahasa. Beberapa situs terbilang hilang bahkan hampir punah oleh pengaruh modernisme. Sementara, pemerintah justru menutup mata mengenai hal ini.
"Sekarang ini banyak pengrusakan situs salah satunya di Benteng Moraya Tondano," pungkas Kaunang.
Ditambahkannya, tanah adat Minahasa terkadang dianggap milik pemerintah. Sehingga, ketika terjadi pembangunan, situs dirusakkan begitu saja. Padahal menurutnya keberadaan situs akan menjadi penanda untuk kemajuan Sulut. Melalui undang-undang pun dalam praktiknya terbilang lemah.
Menurutnya, sekarang ini bermunculan intelektual-intelektual yang sangat peduli mengenai permasalahan budaya. Perang intelektual dilakukan dengan tulisan-tulisan para pemikir hebat. Sayangnya di Sulut khususnya Minahasa minim akses-akses penerbitan buku guna mendokumentasikan tulisan tersebut.
"Kita butuh dukungan positif pemerintah dalam kemajuan dan pengembangannya. Di Belanda suku Minahasa begitu dikenal tapi yang menulis adalah orang Belanda. Jadi, seharusnya Kebudayaan Minahasa jangan hanya dipakai untuk kepentingan politik," tandasnya.
Percakapan tersebut berlangsung baik hingga malam. Mereka yang terlibat dalam diskusi menyetujui penyelamatan situs-situs budaya. Semua yang terlibat memberi dukungan penuh. Di akhir acara, peserta mendapatkan sertifikat dari Tou Kawanua. Ini sebagai ucapan terima kasih atas dukungan dan partisipasi dalam kegiatan.(arfin tompodung)