
Foto: Saat Pagelaran Kabasaran.
Festival Adat Pinawetengan Sikapi Tantangan Modernisasi
Tompaso, ME
Di tengah arus modernisasi kebudayaan Minahasa nyaris pudar. Setiap upaya terus dilakukan para budayawan Minahasa mendorong terbentuknya karakter manusia yang lahir dari nilai luhur Keminahasaan.
Kenyataannya Selasa (7/7), digelar Festival adat dan budaya Pinawetengan. Di sini sembilan sub etnis kembali bertemu dalam upacara penghormatan di Watu Pinawetengan. Kegiatan tersebut dilaksanakan Yayasan Isntitut Seni Budaya Sulawesi Utara (YISBSU) sejak tahun 2007. Sudah rutin digelar setiap tanggal 7 Juli digagas oleh Budayawan Minahasa, Brigjen Pol (Purn) Dr Benny Mamoto.
Menurut Mamoto setiap sub etnis mempunyai cara upacara adat yang berbeda-beda. Makanya upacaranya pertahun digelar bergiliran dari tiap sub etnis. Kini upacara adat dibuat dalam khas Bantik. Seluruh prosesnya dari bahasa Bantik. Namun, yang mengikutinya dari sembilan etnis yakni Tounsawang, Toulour, Tountemboan, Toumbulu, Tounsea, Pasan, Bobontehu serta Bantik. Rencananya tahun berikutnya merupakan jatah upacara dari etnis Toulour.
"Pelaksanaannya tiap tahun pada tanggal 7 Juli karena ada Pilpres (Pemilihan Presiden) dua kali gagal. Dan setiap etnis berbeda upacaranya ada yang lengkap sekali, ada lebih ringkasnya," kata Mamoto.
Dikatakannya lagi, melalui kegiatan ini, dapat memotivasi anak bantik supaya mereka bisa bangkit. Mereka bisa menunjukkan potensi yang ada mulai dari kuliner, permainan adat, tarian, musik, upacara adat.
"Sebab sekarang berada di arus globalisasi, modernisasi. Dimana teknologi dan budaya barat nyaris menguasai. Melalui budaya kita apa yang bisa kita tampilkan," paparnya.
Mamoto berharap dengan pagelaran budaya ini bisa menggugah mayarakat Minahasa bahkan turis mancanegara. Ketika para turis asing datang, mereka bisa mendapatkan sesuatu pelajaran dari budaya Minahasa. Begitu pula saat turis datang ke Manado, etnis bantik perlu menunjukkan budaya yang dimiliki.
Upaya yang dilakukan Mamoto bersama timnya pada intinya mengangkat potensi di Minahasa untuk dikembangkan.
"Kami merasa senang ketika kita bisa mempertemukan tokoh adat setiap etnis dan komunitas bantik sendiri. Menyatukan semangat dan tekad lebih penting supaya mereka tergugah," pungkasnya.
Pada persiapan festival, sebelumnya mereka melangsungkan diskusi. Jika ada usulan dari yang lain maka dikerjakan bersama-sama.
Selain itu mereka memiliki tim taman budaya yang fungsinya juga untuk dapat membantu dalam pengarahan. Salah satunya saat menentukan tema. Tema itu ditentukaan melihat konteks yang saat ini terjadi.
"Tema biasanya dari kita. Memang bantik. Tapi tema diusulkan sesuai konteks. Ketika narkoba kita buat tema narkoba, saat banjer tema lingkungan. Maraknya kriminal maka perlu diubah karakter tokoh pendidikan ambil contoh seperti Walanda Maramis. Khusus sekarang ini berbicara mengenai demokrasi, hikmat, kebijaksanaan dan keadilan sosial," cerocosnya.
Dalam pengembangan budaya Mamoto dan timnya lebih memilih bergerak mandiri. Hal ini untuk menjauhkan diri dari ketergantungan dan tidak mudah dikendalikan. Baginya, membangun bdaya itu adalah baik dilakukan dengan mandiri.
Ke depan direncanakannya akan dibuat belajar bahasa daerah online. Untuk mereka yang akan belajar bisa membuka semua dalam bahasa apapun. Setiap orang nanti bisa menuliskan kalimat bahasa daerah nanti ada instruktur yang akan mengoreksi. (arfin tompodung)