
Foto: Aksi vandalisme (perusakan dan pembakaran), inset Ketua AMAN Sulut, Kharisma Kurama.
AMAN Sulut Kecam Perusakan Situs di Ranoketang Atas
Manado, MX
Publik Sulawesi Utara (Sulut) kembali dikejutkan dengan aksi perusakan terhadap benda, diduga situs milik masyarakat adat yang berada di desa Ranoketang Atas, kecamatan Touluaan, kabupaten Minahasa Tenggara. Aksi itu terekam dan viral di media sosial facebook pada Minggu 13 Juli 2025. Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara (Sulut), Kharisma Kurama pun angkat suara, Jumat (18/7).
Dikatakan Kurama, dalam video itu secara jelas memperlihatkan seorang pria yang sengaja melakukan perusakan terhadap situs batu lisung milik Masyarakat Adat Toundanouw Tonsawang dengan menggunakan martil. Tindakan ini sontak menuai respon amarah dari berbagai pihak. Salah satunya Pengurus Wilayah AMAN Sulut. Organisasi yang selama ini fokus pada pengadvokasian perlindungan hak-hak masyarakat adat itu mengecam keras tindakan brutal yang dilakukan oknum dalam video tersebut.
Kata dia, AMAN menilai, tindakan tersebut telah menimbulkan keresahan mendalam bagi gerakan masyarakat adat di Sulut. Apalagi dalam video tersebut, selain melakukan perusakan, ada suara-suara yang diduga kuat merupakan narasi kebencian yang berpotensi memprovokasi kelompok-kelompok tertentu. Tindakan ini juga menambah rententan panjang stigma negatif yang disematkan kepada masyarakat adat.
Menurut AMAN, situs masyarakat adat tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah tumpukan batu atau benda mati semata. Melainkan perlu dilihat sebagai simpul vital yang menghubungkan generasi masa kini dengan leluhur, tradisi dan identitas. Keberadaan situs adalah tanda eksistensi masyarakat adat yang harusnya dilindungi sebab itu adalah mandat dari konstitusi bukan malah dirusak.
"Peristiwa seperti ini bukan hanya merusak dan menghilangkan jejak sejarah, tapi sudah melukai harga diri dan spritualitas masyarakat adat Tonsawang dan masyarakat adat di Minahasa, bahkan Sulawesi Utara secara umum," ungkap Kurama.
Menurutnya, aksi-aksi seperti ini dipicu, kurangnya pemahaman masyarakat, lemahnya penegakkan hukum, serta absennya pemerintah daerah dalam mengakomodir perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Padahal, perlindungan terhadap masyarakat adat termasuk situs-situs telah dijamin berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dan instrumen hukum internasional.
Dijelaskannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18b Ayat (2) yang menegaskan soal pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya. Dalam kasus ini, situs adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak-hak tradisional.
Selanjutnya, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM). Mengatur tentang hak adat yang perlu dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat adat. Itu harus dihormati dan dilindungi dalam kerangka perlindungan dan penegakan Hak HAM.
"Artinya, perusakan terhadap situs di Ranoketan jelas merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia," tegas Kurama.
Kemudian, UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. Mengatur mengenai perlindungan dan sanksi terhadap perusakan situs dan cagar budaya. Dalam UU ini bahkan, pelaku yang diduga kuat melakukan perusakan terhadap situs dan cagar budaya dapat disanksi pidana.
"Sekalipun situs di ranoketang belum tentu secara formal ditetapkan sebagai cagar budaya. Tetapi situs tersebut memiliki nilai historis dan spiritual yang memenuhi kriteria cagar budaya, sehingga harus dilindungi," ketus Kurama.
Lanjutannya, deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, (UNDRIP). "Secara internasional, UNDRIP mengakui hak masyarakat adat untuk melestarikan, melindungi dan mengembangkan manifestasi budaya, termasuk situs maupun ritus," tandasnya. (hendra mokorowu/*)