Mendagri Offside

Moratorium DOB, Sulut Masih Ada 'Jatah'


Jakarta, ME

Luka ribuan warga Bumi Nyiur Melambai, kembali dibalut. Kekecewaan akan batalnya menggenggam status Daerah Otonomi Baru (DOB), sejenak terobati. Kebijakan moratorium DOB pemerintah digugat Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Senator asal Sulawesi Utara (Sulut) vokal melontarkan 'ancaman' ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Harapan baru pun menyembul.

 

Dalam rapat tripartit antara Komite I DPD, Komisi II DPR dan Pemerintah, akhir pekan lalu, Senator Sulawesi Utara (Sulut), Benny Rhamdani, mengamuk. Sebagai Ketua Tim Kerja DOB, Brani terus menyerang Mendagri Tjahjo Kumolo lewat Direktur Jendral (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda), Sonni Sumarsono. "Saudara Dirjen tolong tanyakan kepada menteri tentang pernyataan moratorium itu apa maksudnya," tantang Brani dalam rapat yang intinya membahas tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penataan Daerah dan Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) itu.

 

Kepada Media Sulut Brani menyebut, pernyataan moratorium DOB tanpa batas waktu itu sama saja Menteri melempar granat ke daerah. Granat ini diakui tidak memiliki daya ledak high eksplosif, tapi granat ini telah menimbulkan kegaduhan politik daerah. "Bahkan beberapa daerah termasuk Sulawesi Utara, selain menyampaikan kekecewaan terhadap pernyataan itu, banyak masyarakat yang berencana datang ke Jakarta untuk protes ke Mendagri," bebernya.

 

Tapi intinya hasil Komite I DPD dan Komisi II DPR clear menganggap pernyataan moratorium DOB dari Mendagri adalah sepihak. Sesuai amanat Undang-Undang No.23 Tahun 2014, keputusan moratorium atau tidak, harus dibahas dan ditetapkan secara tripartit oleh DPR, Pemerintah dan DPD. "Jadi kita peringatkan keras ke Mendagri. Bagaimana bisa? Kita aja yang berkaitan dengan DOB baru bicara sekarang setelah rapat tripartit, pemerintah malah sudah mengeluarkan pernyataan moratorium," ketus Brani.

 

Apapun alasannya, pernyataan Mendagri itu  tidak bisa diterima. Sebagai pejabat negara, Tjahjo harusnya tahu prosedur dan aturan. Untuk itu Tjahjo diminta menarik pernyataan yang dianggap offside atau blunder itu. "Kita tegur, kita sampaikan lewat saudara Dirjen. Mendagri, harus klarifikasi, tidak mengulangi pernyataan itu. Mendagri harus menahan diri dan tidak mengeluarkan statemen-statemen yang bisa dikatakan blunder dan kontraproduktif," semburnya.

 

Sebagai orang yang belakangan vokal memperjuangkan asa dan mimpi daerah untuk menggenggam status DOB ini, Brani tegas meminta agar Mendagri tidak sembarangan membuang kata. "Saya tegas meminta Mendagri untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang kontraproduktif.  Pernyataan yang memancing untuk menimbulkan konflik,  pernyataan yang dikhawatirkan akan memunculkan gejolak politik," tegasnya.

 

"Posisi Politik Komisi II dan Komite I clear menganggap atau menyatakan sikap tidak ada moratorium. Dan kaitan dengan pembahasan DOB kita tetap jalan," sambungnya.



DPR RI PERTANYAKAN WAPRES DAN MENDAGRI
Kebijakan pemerintah pusat terkait moratorium pemekaran DOB, ikut digugat DPR RI. Langkah Wakil Presiden (Wapres) dan Mendagri dipertanyakan. Keduanya diminta menjelaskan ke publik, termasuk kepada wakil rakyat di Senayan, mengenai maksud tersebut.

 

"Berkenanaan dengan isu moratorium pemekaran yang dimunculkan oleh Wakil Presiden maupun Menteri Dalam Negeri, hampir semua fraksi di Komisi II DPR RI dan anggota di komite 1 DPD RI, mempertanyakan dan meminta penjelasan pemerintah," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Lukman Edy.

 

Bagi DPR dan DPD, isu ini sangat mengganggu stabilitas politik di daerah. Di samping dianggap melanggar UU No 23/2014 dan lebih tinggi lagi adalah melanggar UUD 1945. Karena moratorium sebelum rapat tripartit tidak diatur di dalamnya. “Alhamdulillah kami mendapatkan penjelasan yang jelas dari pemerintah, yaitu moratorium tersebut bermakna selama 3 tahun ke depan memang tidak ada DOB defenitif sehingga tidak akan membebani anggaran negara. 3 tahun ke depan adalah masa persiapan atau dalam perspektif UU disebut sebagai DOB persiapan. Jadi rilis yang dibuat oleh pemerintah tidak perlu dipertentangkan, karena punya makna yang sama,” paparnya.



SATU PROVINSI UNTUK SULUT
Salah satu masalah yang sangat alot dibahas dalam rapat tripartit DPR, DPD dan Pemerintah akhir pekan lalu adalah tentang RPP Penataan Daerah dan Desertada.

 

Kedua RPP itu berkaitan dengan otonomi daerah. RPP jadi framing dan koridor. Khususnya bicara tentang jumlah kabupaten kota dan provinsi di Indonesia yang dinilai ideal sampai tahun 2025. "Jadi berapa sih realnya kabupaten kota dan provinsi di Indonesia sampai tahun 2025, diatur dalam dua RPP ini," terang Ketua Tim Kerja DOB di DPD RI, Benny Rhamdani.

 

Tapi lewat RPP ini justru mimpi sebagian rakyat Sulut, dapat terwujud. Secara tekstual, RPP ini menyebut, perlunya ada penambahan satu provinsi baru di Sulut. "Khusus untuk Sulut, saya akan bertugas untuk mengawalnya. Dalam RPP itu memang sebagaimana yang menjadi harapan rakyat, posisi Sulut itu aman. Masuk dalam RPP Sulut ada penambahan satu provinsi baru," jelasnya.

 

Apakah isi RPP itu dapat diartikan secara harafiah, dimana satu-satunya usulan pemekaran provinsi di Sulut adalah Bolaang Mongondow Raya (BMR), Brani belum bisa memastikan. "Di situ tidak disebut karena dia (RPP) tidak boleh menyebut nama. Biarpun kita bisa menebak kalau itu BMR, karena ditulis di situ provinsi. Tapi kan secara tekstual dia tidak menyebut nama. Karena RPP itu kan koridor. RPP menyebut hanya perlunya ada penambahan satu provinsi," aku Brani.

 

Pemerintah menilai di Sulut perlu ada penambahan satu provinsi baru. Dan itu dikonstruksikan ke dalam RPP Desertada. "Yang jelas, pemerintah menilai provinsi di Indonesia perlu ada penambahan 12 provinsi. Jadi dari total 33 tambah 12 jadi 55," paparnya.

 

RPP tersebut diakui masih dalam tahap pembahasan. Di wilayah pemerintah, RPP itu sudah masuk tahap harmonisasi. Tapi dalam proses politik kelembagaan tripartit, masih dalam tahap pembahasan yang belum juga bersifat final. Untuk itu tanggal 29 Februari nanti kembali akan digelar rapat kerja dengan Mendagri secara tripartit. "Ini sebetulnya kewenangan Absolut dari Presiden. Tapi karena RPP ini kontennya berbicara tentang pemekaran daerah dan saat berbicara soal pemekaran daerah berkonsekuensi terhadap penganggaran sehingga disepakati, dalam pembuatan RPP ini secara substansi dibahas bersama-sama yang melibatkan DPD dan DPR RI serta pemerintah," jelasnya.



PEMERINTAH FOKUS TUNTASKAN RPP
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementeriaan Dalam Negeri (Kememdagri), Sumarsono menegaskan pemerintah akan fokus pada penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Desain Besar Penataan Daerah dan RPP Penataan Daerah sehingga diharapkan pada bulan Maret 2016, kedua RPP ini bisa direalisasikan.

 

Mantan Penjabat Gubernur Sulut itu mengemukakan, pemerintah saat ini fokus pada upaya penyelesaian kedua RPP mengingat tingginya kebutuhan pembentukan DOB. "Seluruh masukan dari DPD dan DPR telah diakomodir dalam RPP ini sehingga diharapkan akan menghasilkan desain yang komprehensif terkait dengan penataan DOB," tambahnya.

 

Terkait perkembangan usulan pembentukan daerah, Sumarsono mengatakan terdapat 132 usulan DOB yang tercatat di Kemendagri yang dialokasikan pada tahun 2015 yang terdiri atas 22 usulan pembentukan Provinsi, 96 usulan Kabupaten, dan 14 usulan Kota. "Selain itu juga ada 12 pemekaran provinsi dengan pertimbangan kepentingan strategis nasional yakni Aceh, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku,Maluku Utara, Papua dan Papua Barat," ujar Sumarsono. (happy karundeng)



Sponsors

Sponsors