Ruang Hidup Masyarakat Adat Pesisir Dibedah di Sarasehan KMAN VI
Jayapura, MX
Situasi dan tantangan ruang hidup masyarakat adat pesisir dan pulau kecil dibedah dalam sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nasional (KMAN) IV, Rabu (26/10), di Pulo Kayo, Jayapura.
Disebut, sistem lokal tradisional atas pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjamin kesejahteraan masyarakat adat dan keberlanjutan ekologis menjadi model-model yang dapat diidentifikasi, dipromosikan dan diadopsi oleh negara.
Jerfy Mobalen mengatakan, berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami, peran masyarakat adat dalam mengelola pesisir laut berhadapan dengan permasalahan kebijakan pemerintah yang tidak memihak hak masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat di pesisir laut wilayah Papua Barat, Kabupaten Sorong, yang ada di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, melihat laut sebagai tradisi untuk menjaga ruang laut sebagai sumber pendapatan ekonomi.
"Di Malaumkarta, pada beberapa tahun silam, lautnya sangat kaya dengan potensi yang ada. Pada tahun 1990-an terlihat ada ancaman karena masuk mengikuti gerakan globalisasi kehidupan manusia," katanya.
Diceritakannya, khusus di kabupaten Sorong ancam terhadap ruang laut kalau dibiarkan maka generasi yang akan datang tidak akan merasakan itu.
"Oleh karena itu kami masyarakat adat melakukan egek atau konservasi tradisional yang sudah diwariskan oleh leluhur. Oleh karena itu di tahun 2003 dengan adanya kegiatan egek ini, kami mampu mengelola sumber kekayaan laut," terangnya.
Ditambahkannya, masyarakat adat di kampung Malaumkarta bisa membuktikan hasil pendapatan laut bisa membangun gereja murni dari hasil pendapatan masyarakat adat.
"Hal ini bisa terjadi dan menjadi contoh terbaik, ketika mempraktekkan kearifan lokal yang diwariskan leluhur, kekayaan alam bisa pergunakan sebaik mungkin," tandasnya.
Sementara itu, Asmar Exwar dari Jaringan Nusa, mengatakan tantangan masyarakat adat di wilayah pesisir berhadapan dengan dua kondisi yakni perubahan iklim sebagai ancaman dan kebijakan pembangunan yang tidak pro dengan masyarakat adat pesisir.
"Anomali cuaca sekarang ini antara panas, hujan dan suhu tinggi sudah sulit diprediksi. Tentu hal ini berpengaruh kepada masyarakat pesisir di wilayah pesisir. Tingkat abrasi sangat tinggi adanya banjir rob memberikan dampak kepada masyarakat," katanya.
Ditambahkannya, selain ancaman anomali cuaca, masyarakat adat juga mengalami ancaman yang lebih besar dari industri ekstraktif.
"Tidak hanya pulau-pulau besar tapi juga pulau-pulau kecil. Misalnya di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Ketiga pulau kecil ini menjadi wilayah yang diekspansi oleh industri ekstraktif," jelasnya.
Dibeberkannya, industri pertambangan masuk di wilayah pulau kecil.
"Di pulau Sangihe, dialokasi sebagai wilayah tambang yang dikelola oleh PT. MSM. Di pulau Maluku Utara (Malut) dan wilayahnya ekspansi tambang sudah nampak. Ini sangat mengancam eksistensi masyarakat adat dan menggangu kestabilan ekosistem," bebernya.
Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti pariwisata menciptakan konflik dengan pulau-pulau kecil.
"Wilayah reklamasi dan tambang pasir laut, misalnya di Sulawesi Selatan (Sulsel) ada pembangunan infrastruktur di sekitar daerah itu, pasirnya diambil di ruang laut. Ini ada beberapa ton pasir yang diambil di ruang laut. Dan itu berada di wilayah-wilayah tangkapan nelayan, sehingga merusak wilayah tangkapan. Selain menghancurkan, wilayah tersebut dapat merasakan dampak abrasi atau semakin kuat dan pengaruh gelombang laut. Ini memperparah kondisi masyarakat," terangnya.
Lebih lanjut, pengelolaan wilayah pesisir masih membutuhkan upaya dan beberapa hal yang perlu direncanakan.
"Pertama dari segi hukumnya dan kedua, ruang kelolanya. Kalau di wilayah pesisir ruang laut harus menjadi wilayah adat, ini yang menjadi hal yang harus dilakukan. Wilayah adat harus diakui. Kalau ada aturan, wilayah masyarakat adat harus masuk di situ," tandasnya. (Eka Egeten)



































