Likupang Terancam, Masyarakat Deklarasikan Perlawanan ke Perusahaan Tambang


Likupang, MX

Gelombang penolakan terhadap aktivitas tambang dari PT. Meares Soputan Mining (MSM) dan PT. Tambang Tondano Nusajaya, memuncak. Minggu, (14/92025), bertempat di desa Likupang kampung Ambong, masyarakat dari berbagai elemen berkomitmen mendeklarasikan Gerakan Likupang Bersatu (GLB).

Deklarasi wadah perjuangan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap aktivitas ekstraktif MSM dan TTN yang terus merusak wilayah adat Tonsea di Likupang. Melki Kaweke, warga Likupang Satu mengatakan, deklarasi ini merupakan bentuk pembelaan terhadap tanah, air serta kebudayaan yang merupakan warisan leluhur.

Menurutnya, wilayah Likupang merupakan bagian dari tanah adat Tonsea. Secara turun-temurun dijaga oleh masyarakat adat maupun warga lokal sebagai sumber penghidupan serta identitas kultural. Sejak awal dia minta operasi perusahaan diberhentikan karena air Sungai Marawuwung sudah keruh. 

"Kami menuntut kase brenti, karna kita merasa terancam saat ini! Apa lagi kedepan! Semoga pemerintah boleh bekerja sama dengan masyarakat untuk mengatasi masalah ini, khususnya Marawuwung! Dari kita pribadi, kalu boleh tutup tu perusahaan," tegas Melki, juga seorang petani yang sehari-hari menggantungkan hidupnya dari air Sungai Marawuwung.

Masyarakat mencatat bahwa sejumlah sungai mulai tercemar. Misalnya Sungai Marawuwung di Likupang, Sungai Araren, dan Sungai Rarandam di Resettlement telah menunjukkan tanda-tanda dugaan pencemaran berat. Air sungai menjadi keruh dan berwarna. Biota sungai menghilang dan warga mulai mengalami gangguan kesehatan.

Sumber air bersih yang selama ini digunakan untuk kebutuhan harian kini tak lagi aman. Selain berdampak pada ekologi, tambang juga mengancam struktur sosial dan budaya masyarakat adat Tonsea. Ali Bakari, warga Likupang kampung Ambong juga mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, perlawanan kepada pihak koorporasi yang merusak alam harus dilakukan secara bersama-sama. Dulunya ada perlawanan terhadap pertambangan dilakukan sendiri-sendiri dengan kepentingan masing-masing. Namun saat ini pihaknya sepakat untuk menyatukan visi dan misi dalam GLB.

"Ini juga menjadi peringatan penting untuk para legislatif dan eksekutif agar berpihak kepada rakyat. Karna ini sudah jelas kerusakan lingkungan. Sangat nyata, terumbu karang so rusak, so merugikan nelayan, khususnya di wilayah pesisir Likupang kampung Ambong. Kemudian sapi so beberapa kali terlihat mati akibat beroprasinya perusahaan di area Marawuwung," tegasnya.

Sementara itu, Kepala Biro Advokasi Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara, Gabriel Watugigir menegaskan, pihaknya berdiri bersama masyarakat lokal dalam perjuangan menolak aktivitas tambang yang merusak ruang hidup. Termasuk juga, bersama-sama dengan masyarakat adat Tonsea Likupang.

“Bagi masyarakat adat, tanah, hutan, laut dan sungai adalah satu kesatuan hidup yang tak ternilai. Kerusakan yang dilakukan PT. MSM dan PT. TTN bukan hanya soal lingkungan. Tetapi juga penghancuran terhadap identitas dan keberlanjutan hidup masyarakat adat Tonsea. Negara seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat. Bukan justru memberikan karpet merah bagi investasi yang merampas ruang hidup rakyat,” tegas Gabriel.

Dia menegaskan, kasus tambang di Likupang juga merupakan persoalan hak asasi manusia (HAM). Ketika masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah, sumber air dan laut, itu sama saja dengan merampas hak dasar untuk hidup layak.

"Hak atas lingkungan yang sehat, budaya, pangan dan untuk menentukan nasib sendiri sebagai masyarakat adat, jelas diabaikan. Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ini. Jika dibiarkan, maka kehadiran tambang bukan hanya kejahatan ekologis, tetapi juga pelanggaran HAM,” pungkasnya.

Gerakan ini tidak lahir dari satu desa saja. Tetapi merupakan konsolidasi dari berbagai desa yang merasakan langsung dampak eksploitasi tambang. Deklarasi ini diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap bersama sebagai simbol penolakan dan perlindungan terhadap tanah air milik masyarakat adat Tonsea. 

Adua rangkuman tuntutan yang diserukan dalam deklarasi GLB. Pertama, tuntutan kepada pemerintah daerah, provinsi dan pusat. 

1. Mencabut seluruh izin pertambangan PT MSM dan TTN yang beroperasi di wilayah adat Tonsea Likupang sekitarnya.

2. Menghentikan penerbitan izin baru untuk pertambangan di wilayah adat, pesisir, hutan dan lahan produktif rakyat.

3. Melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat adat maupun warga lokal. Termasuk hak atas tanah, sungai, laut dan hutan yang menjadi sumber kehidupan.

4. Menegakkan hukum lingkungan secara adil terhadap perusahaan tambang yang merusak alam dan merugikan rakyat. Melakukan audit lingkungan terhadap PT. MSM dan PT. TTN.

5. Mengakui dan mengesahkan wilayah adat Tonsea Likupang sebagai ruang hidup yang sah, tidak boleh diganggu oleh kepentingan ekstraktif.

Kedua, tuntutan kepada PT. MSM dan PT. TTN.

1. Hentikan seluruh aktivitas pertambangan di wilayah hulu Sungai Marawuwung dan sekitarnya.

2. Pulihkan kembali lingkungan hidup yang telah rusak akibat aktivitas tambang, termasuk sungai, lahan pertanian dan pesisir.

3. Ganti rugi yang adil dan layak kepada masyarakat yang kehilangan mata pencarian, hewan ternak, atau mengalami kerugian akibat pencemaran.

4. Hentikan segala bentuk intimidasi, kriminalisasi, kekerasan terhadap masyarakat adat serta warga lokal yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungannya.

5. Bertanggung jawab secara moral dan hukum atas kerusakan ekologi, sosial, ekonomi yang ditimbulkan di wilayah Likupang. (eka egeten)



Sponsors

Sponsors