Komisi VII DPR Minta BPK Audit Investigatif PLN

Terkait Temuan Inefisiensi Rp37 T


Jakarta, ME

Komisi VII DPR RI mengirim surat kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif terhadap PT PLN (Persero).

"Memang sudah ada audit BPK terhadap PT PLN sebagaimana diminta oleh Panitia Kerja Panja Hulu Listrik, tapi untuk tujuan tertentu. Sebenarnya audit itu sudah cukup, tapi ada teman-teman di Komisi VII DPR yang minta dilakukan audit investigatif," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Effendi Simbolon, di Jakarta, Senin (19/11).

"Kami tidak mau biarkan PT PLN tergerus, merugi terus. Detail dari audit invenstigatif BPK tentang bagaimana, siapa, dan apa saja yang menyebabkan PT PLN rugi," tambah dia.

Dia mengatakan, permintaan untuk melakukan audit investigatif terhadap PLN tersebut tidak dilakukan untuk memojokkan mantan Direktur Utama PT PLN, Dahlan Iskan, yang sekarang menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.

"Tidak bermaksud menohok secara pribadi, tapi dalam konteks kebangsaan, penyelamatan uang negara. Kita ingin tahu apa sebabnya PLN rugi, apakah karena keadaan yang di luar perkiraan, dan apakah ada missmanagement," kata Effendi.

Surat Komisi VII DPR RI kepada BPK yang bernomor PW/10650/DPRRI/XI/2012 tertanggal 13 November 2012 tersebut ditandatangani oleh Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung.

Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR-RI, Rofi Munawar juga mengusulkan audit investigatif terhadap temuan BPK mengenai inefisiensi PT Perusahaan Listrik Negara sebesar Rp37 triliun. "DPR harus melanjutkan ke tahap audit investigatif terhadap temuan BPK ini, inefisiensi PLN bisa memunculkan potensi kerugian bagi negara yang sangat besar,” kata Rofi, dalam siaran persnya.

Laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011 menemukan kebutuhan gas PLN pada 8 unit pembangkit yang berbasis dual firing tidak terpenuhi.

Pembangkit itu harus dioperasikan dengan high speed diesel (HSD) atau solar, yang biayanya jauh lebih mahal dari gas. Hal ini menimbulkan inefisensi yang diperkirakan mencapai Rp.17,9 triliun pada 2009 dan Rp.19,6 triliun pada 2010. Bila ditotal jumlahnya adalah Rp 37 trilyun.

“Delapan unit pembangkit tersebut hanya mendapatkan alokasi gas sebanyak 785 BBTUD (Billion British Thermal Unit Per Day) atau 49,03 persen dari total kebutuhan 1.601 BBTUD pada 2009. Pada 2010 alokasi gas menurun menjadi 778 BBTUD atau 48,78 persen dari kebutuhan sebanyak 1.595 BBTUD.” papar Rofi.

Inefisiensi biaya PLN disebabkan oleh keterpaksaan penggunaan BBM untuk pembangkit listrik karena pasokan gas untuk pembangkit habis dan tidak sesuai kontrak. Bahkan, inefisiensi PLN ini ditambah lagi dengan pemasok yang secara aktual hanya mampu memenuhi 80,25 persen kewajibannya dari kontrak atau sekitar 630 BBTUD pada 2009 dan 84,58 persen atau 658 BBTUD pada 2010.

“Permasalahan paling fatal bagi PLN dalam temuan BPK ini adalah PLN tidak mengatur sanksi bagi pemasok gas apabila realisasi pasokan gas tidak sesuai kontrak. Tidak ada klausul sanksi dalam Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PLN dan pemasok gas,” ujar Rofi.

Pada tahun 2009 biaya aktual penggunaan BBM di delapan pembangkit PLN sebesar Rp 25,5 triliun, jika menggunakan gas biaya diestimasikan lebih kecil sebesar Rp 7,66 triliun. Sedangkan untuk tahun 2010 biaya aktual penggunaan BBM sebesar Rp 28,47 triliun, berbeda jauh jika menggunakan gas sebesar Rp 8,77 triliun. Sehingga nilai ketidakhematanya seluruhnya sebesar Rp 37,6 triliun yaitu tahun 2009  sebesar Rp 17,9 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 19,7 triliun.

Terdapat 74 Rekomendasi BPK yang harus ditindaklanjuti, yaitu tujuh rekomendasi untuk Kementerian ESDM, tujuh rekomendasi untuk Kementerian BUMN, 56 rekomendasi untuk PLN, tiga rekomendasi terkait Perusahaan Gas Negara dan satu rekomendasi terkait Pertamina.

“Masih belum selesainya tindak lanjut terhadap temuan BPK tersebut, baik oleh Kementerian ESDM, PLN dan BP Migas, menunjukan bahwa sampai saat ini Pemerintah masih belum berkomitmen penuh untuk memenuhi kebutuhan gas pembangkit PLN, sehingga penurunan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik untuk mengurangi subsidi listrik masih jauh panggang dari api. Padahal ketersediaan pasokan gas untuk pembangkit milik PLN merupakan salah satu faktor kunci untuk mengendalikan Biaya Pokok Penyedian (BPP) listrik,” tutur Rofi.

Sebagaimana diketahui, pembangkit listrik berbasis dual firing adalah pembangkit yang bisa menggunakan bahan bakar gas dan BBM (Solar). Pembangkit ini didesain khusus untuk melayani permintaan pemakaian bahan bakar yang tidak bisa diprediksi. (ant/brs)

 

Foto: Effendi Simbolon. (ist)



Sponsors

Sponsors