LBH MIM Kritisi Pemberian Sanksi Hukum Bagi yang Menolak Divaksin
Manado, MX
Program vaksinasi pemerintah guna memutus mata rantai penularan corona virus desease 2019 (Covid-19) yang menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, dikritisi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manguni Indonesia Maju (MIM).
Pemerintah dan kepada semua pihak yang terkait di dalamnya diminta agar tidak mengeluarkan produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal itu disampaikan Direktor LBH MIM, Yefer Hendra Saerang, S.H., kepada ManadoXpress.com, Senin (18/1).
Dikatakan, pihaknya mendukung program pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya di dalam pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat yang merupakan perintah konstitusi dalam UUD 1945, pasal 34 ayat (3) yang berbunyi "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak."
"LBH Manguni Indonesia Maju tentunya mendukung program pelayanan kesehatan pemerintah. Jadi kami berharap kepada pemerintah dan kepada semua pihak yang terkait di dalamnya agar tidak mengeluarkan produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi. Karena ketika mengeluarkan aturan hukum bahwa orang yang menolak vaksin wajib untuk dipidana atau didenda, itu telah melanggar hak-hak asasi manusia dan melanggar ketentuan konstitusi kita Undang-Undang Dasar 1945," kata Saerang.
Ia pun menjelaskan pandangan hukum terkait hak dan kewajiban. Dirinya menjelaskan tentang Pasal 28h ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
"Setiap orang berhak untuk sehat serta berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Di sini yang dibicarakan adalah hak. Sehingga setiap orang boleh menggunakan haknya dan boleh tidak. Dan ketika hak tersebut tidak diambil, tidak boleh ada sanksinya," jelasnya
Menurutnya, hak warga masyarakat untuk menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin. Itu bisa diambil dan bisa tidak. Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. Sanksi baru akan muncul ketika ada orang yang melakukan ajakan atau menghalang-halangi orang lain untuk menggunakan hak pilihnya.
Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dikatakan bahwa, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.”
"Aturan hukum ini memiliki pengertian bahwa setiap orang diberikan kewenangan dan kekuasaan untuk menentukan sendiri apakah menerima atau tidak menerima hak yang dijamin oleh negara. Termasuk melalui program vaksin yang ada sekarang ini," terangnya.
Lanjut Saerang, yang harus dibangun adalah, bahwa setiap orang yang menolak untuk divaksin ataupun setiap orang yang bersedia menerima vaksin, kedua-duanya itu memiliki pikiran yang sama yaitu mereka ini sama-sama tidak ingin tertular virus Covid-19.
"Orang yang menerima vaksin tentu berharap, bahwa dengan menerima vaksin orang tersebut akan terbebas dari covid-19. Sedangkan bagi orang yang menolak untuk divaksin juga tidak ingin tertular virus covid-19," ucapnya.
Tidak hanya itu, Saerang pun menegaskan, orang yang menolak vaksin, ketika dia sakit tetap wajib untuk dilayani kesehatannya oleh negara karena kalau tidak maka negara bisa dituntut karena hal ini adalah perintah UUD 1945 dalam Pasal 34 ayat 3, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
"Jadi sekalipun ada yang menolak divaksin tetap saja mereka tidak bisa dikenakan sanksi pidana ataupun denda karena ini yang dibicarakan adalah hak. Sebagaimana perintah konstitusi di dalam Pasal 28h ayat 1 secara tegas mengatakan bahwa kesehatan adalah hak daripada setiap orang. Maka diberikan kewenangan dan kekuasaan kepada setiap orang untuk menerima haknya ataukah tidak," tegas Saerang.
Selain pandangan hukum, beberapa pertanyaan diucapkannya. Apakah vaksin ini tidak akan menimbulkan penyakit baru di dalam tubuh? Apakah vaksin ini benar-benar dapat menjamin bahwa tidak akan terkena Covid-19 lagi? Apakah vaksin ini dapat benar-benar berfungsi secara baik karena belum pernah teruji?
Demikian Saerang menyatakan, bahwa setelah menerima vaksin, dalam jangka waktu 1 tahun, 2 tahun atau 3 tahun ke depan bisa saja terjadi penyakit-penyakit baru pada tubuh. Menurutnya pihak yang menerima vaksin dan pihak yang menolak untuk divaksin wajib dilindungi oleh negara.
"Perlu untuk kita ketahui atapun mengingat kembali terkait perbedaan antara hak dan kewajian. Kewajiban apabila tidak dilaksanakan akan melahirkan sanksi. Sedangkan hak apabila tidak digunakan, tidak akan menimbulkan sanksi. Dengan demikian hak boleh diambil dan boleh tidak. Sedangkan kewajiban jika tidak dijalankan akan menimbulkan sanksi," pungkasnya. (Melky Pieter)



































