Dinilai Timpang, KAKSBG Sorot Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Minut


Manado, MX

Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) dibentuk sebagai upaya melawan kekerasan seksual di Indonesia. Secara khusus, koalisi ditujukan untuk mengawal dan mendampingi proses hukum kasus-kasus kekerasan seksual di Sulawesi Utara (Sulut). Apalagi wilayah Nyiur Melambai dipandang berada dalam tahap darurat kekerasan seksual.

KAKSBG terdiri dari 29 organisasi, lembaga serta komunitas di Sulut dan nasional. KAKSBG menilai, proses hukum kasus di Minahasa Utara (Minut) ini berjalan sangat lambat serta tanpa perspektif keadilan dan pemenuhan hak-hak korban. Sejak kasus ini dilaporkan pihak keluarga korban pada 11 Januari 2024, kurang lebih 8 bulan, baru 1 terduga pelaku yang telah menjalani proses persidangan.

Koordinator KAKSBG, Nurhasannah mengatakan, selama proses persidangan, dua kali hakim meminta korban dihadirkan untuk dimintai keterangan, tanpa mempertimbangkan kondisi mental korban yang mengalami trauma. Akibatnya, korban mengalami tekanan berat. Karena harus menghadiri persidangan yang mempertemukan korban dengan pelaku dalam satu ruangan sidang.

"Meskipun pendamping sudah berkoordinasi dengan Jaksa dan LPSK juga telah menyerahkan surat keterangan psikolog tersebut ke Majelis Hakim. Persidangan dengan mempertemukan korban dan pelaku tetap dijalankan," kata Nurhasanah, Selasa (1/10).

Ditambahnya, pendamping juga mengirimkan surat permohonan pada 16 Agustus 2024 kepada Kejaksaan Minut dan Kapolres Minut. Isinya, agar jaksa penuntut umum (JPU) dan penyidik yang memeriksa kasus, selanjutnya memiliki kompetensi berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Di mana penyidik, JPU dan hakim yang menangani perkara TPKS harus memenuhi persyaratan. Pertama, memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan keadilan bagi korban. Kedua, telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara TPKS.

Selanjutnya, Selasa, 24 September 2024, KAKSBG mengirimkan amicus curiae untuk memberikan pandangan hukum terkait perkara No.81/Pid.Sus/2024/PN Arm atas nama terdakwa JK. Itu dengan harapan majelis hakim bisa memvonis dengan maksimal. Mengabulkan restitusi sebesar Rp28.430.000,- dan membuka seluruh data terdakwa ke publik.

"Berdasarkan hasil pemantauan proses persidangan, tim kuasa hukum menilai, JPU yang memegang perkara No.81/Pid.Sus/2024/PN bersikap pasif. Tidak aktif menggali fakta-fakta di persidangan. Tidak berusaha mengungkap dan memastikan keterangan saksi yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa," ungkapnya.

Kata dia, jaksa hanya menuntut terdakwa 8 tahun penjara, membayar denda Rp50 juta dan membayar restitusi Rp28.430.000. Selain itu, jaksa tidak mau memberikan hak korban atas informasi terhadap seluruh proses atau hasil penanganan, perlindungan dan pemulihan. Termasuk hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, seperti berkas-berkas penuntutan. Hal ini diatur dalam Pasal 67 ayat 1 huruf (a) dan Pasal 68 UU TPKS.

Nurhasannah menuturkan, proses hukum 4 terduga pelaku dewasa lainnya masih dalam tahap penyelidikan dengan alasan terkendala alat bukti. Menurut pendamping, seharusnya tidak sulit untuk menambah alat bukti, seperti saksi korban, saksi orangtua, saksi ahli, visum et repertum dan surat keterangan psikolog. Satu alat bukti (saksi korban, red) ditambah dengan bukti lain, sebenarnya sudah bisa menaikkan ke tahap penyidikan.

Menurutnya, tak ada alasan lagi Polres Minut untuk tidak menaikan kasus ke tahap penyidikan. Kejaksaan Minut mengembalikan berkas 4 terduga pelaku yang masih usia anak ke penyidik (P19, red). JPU menilai, seharusnya penyidik memasukkan kronologis bujuk rayu ke korban. Padahal, korban telah dipaksa oleh terduga pelaku. Terduga juga sudah mengakuinya. Untuk alat bukti yang lain juga sudah jelas.

"Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengadvokasi kasus ini, antara lain pendamping kesulitan mendapatkan informasi perkembangan perkara di Polres Minut. Upaya yang dilakukan pendamping adalah membuat dumas ke Polda Sulut. Hasil dari upaya ini, Bripda YT dinyatakan bersalah dan Polres Minut sedang menunggu saran hukum dari Polda Sulut," bebernya.

Diterangkan, pada Senin, 30 September 2024, KAKSBG bersama tim kuasa hukum mengawal proses sidang putusan kasus. Korban bersama keluarga tidak bisa mengikuti persidangan. Sebab, korban telah melahirkan pada 23 September 2024. Hasil sidang putusan sangat mengecewakan. Hakim memutuskan 2 tahun lebih rendah dari tuntutan jaksa.

"Akhirnya, tuntutan 8 tahun menjadi 6 tahun penjara, denda Rp50 juta diserahkan kepada negara, jika tidak mampu maka diganti kurungan 3 bulan. Restitusi yang diajukan sebesar Rp28 juta, hanya Rp9 juta yang disetujui hakim. Dengan alasan, bayi yang dilahirkan korban belum terbukti anak terdakwa," pungkas Nurhasanah. (eka egeten)



Sponsors

Sponsors