Kali Kedua, BPMS GMIM Mangkir di Sidang PN Tondano


Tondano, MX

Pimpinan Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) selaku pihak tergugat, kembali tidak menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tondano, Rabu (11/6). Padahal, ini merupakan lanjutan sidang gugatan dua pendeta (Pdt) senior perempuan GMIM, Pdt Dr. Lientje Kaunang, Th.M., dan Pdt Dr. Augustien Kaunang, M.Th.

Pimpinan BPMS GMIM tidak mengindahkan panggilan sidang pertama dan kedua. Adapun, majelis hakim dalam perkara perdata 401/SK/2024/Pn Tnn diketuai, Hakim I Gusti Ngurah Agung Aryanta Era Winawan, S.H., M.H.,dengan dua hakim anggota, Eko Murdani Indra Yus Simanjuntak, S.H., M.H., dan Steven Christian Walukow, S.H., M.H. Didampingi panitera pengganti, Lucky Ticoalu, A.Md., S.H.

Majelis Hakim PN Tondano kemudian menunda persidangan dan pihak pengadilan akan memanggil untuk ketiga kalinya. Ketua Majelis Hakim, Winawan, yang juga Wakil Ketua PN Tondano dengan tegas menyatakan, apabila pihak tergugat, yakni pimpinan BPMS GMIM mangkir lagi. Sidang tetap akan berlanjut meski tanpa kehadiran pihak tergugat.

Menanggapi hal tersebut, kuasa hukum penggugat, Advokat Sofyan Jimmy Yosadi, S.H., yang mendampingi perjuangan Pdt Lientje Kaunang dan Pdt Augustien Kaunang untuk mendapatkan hak-hak gaji serta pensiunnya, menyayangkan sikap pimpinan BPMS GMIM. Di mana, tidak mengindahkan panggilan sidang PN Tondano. 

Kata Yosadi yang juga advokat senior ini, pada sidang pertama, Selasa (27/05), pihak tergugat tidak hadir. Kini, sidang kedua, Rabu (11/06), juga tidak hadir. Memang, jadwal sidang pukul 10.00 Wita. Namun, kedua Pdt tersebut sudah hadir sejak jam 09.30 pagi dan menunggu tergugat pimpinan BPMS GMIM bersama kuasa hukumnya.

"Tapi sampai jelang sore hari, dua kali berturut-turut tidak hadir. Kedua pendeta perempuan yang sudah memasuki masa pensiun sejak tahun 2022 dan 2023 itu, tetap sabar berjuang atas hak-haknya," ujar Yosadi, yang menjabat Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia Korwil Sulawesi utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.

Lanjutnya, Lientje Kaunang dan Augustien Kaunang menerima surat keputusan (SK) dari BPMS GMIM sebagai Pdt pada tahun 1982 dan 1983. Mulai saat itu, keduanya menerima hak sebagai pekerja dan mendapatkan gaji. Setiap bulan dipotong gajinya untuk mendapatkan hak pembayaran pensiun nanti. 

Pada 1988 dan 1989, kedua Pdt ini mendapatkan SK dari BPMS GMIM untuk diberikan penugasan sebagai dosen pengajar di Fakultas Teologi UKIT dan mengajar selama puluhan tahun. Keduanya merupakan dosen dari para calon Pdt, teolog dan guru agama dari berbagai denominasi gereja di Indonesia. Termasuk para Pdt yang kuliah di Program Pasca Sarjana UKIT.

Hak sebagai pekerja GMIM sesuai SK BPMS untuk penugasan sebagai dosen di UKIT, keduanya tetap menerima gaji sebagai Pdt. Bukan sebagai dosen. Hingga memasuki masa pensiun gaji mereka sebagai dosen tidak diberikan dengan alasan kisruh UKIT. Walau tidak mendapatkan gaji, tapi keduanya tetap sabar mengajar para mahasiswa. Juga tetap melayani sebagai Pdt GMIM. 

Dijelaskan Sofyan, kedua Pdt tidak pernah mendapatkan SK pemecatan. Sebagaimana Tata Gereja GMIM dan SK BPMS, kedua Pdt tidak pernah mengajarkan ajaran sesat. Tidak pernah mencemarkan nama baik GMIM. Tidak pernah dipidana penjara atau sejenisnya. Tidak pernah melanggar Tata Gereja GMIM, yang merupakan syarat dipecat atau diberhentikan sebagai Pdt.

"Gaji mereka (dua Pdt, red), setiap bulan sejak ditetapkan sebagai Pdt, di kisaran tiga dan empat jutaan rupiah. Hingga pensiun tidak pernah berubah. Meski menurut Tata Gereja GMIM, ada kenaikan secara berkala. Dari gaji tersebut dipotong setiap bulan untuk mendapatkan hak pensiun," urai Yosadi.

Perjuangan panjang atas hak-haknya, dimulai saat keduanya bersama beberapa Pdt lainnya memohon perlindungan negara, melalui Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Sehingga pada 19 Januari 2017, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulut memberikan surat berupa anjuran tertulis kepada BPMS GMIM untuk membayar hak-hak sembilan Pdt, termasuk kedua klien Yosadi.

"Anjuran pemerintah itu diabaikan pimpinan BPMS GMIM. Tahun 2020-2024, kedua Pdt melakukan lobi-lobi kepada pimpinan BPMS. Bolak balik ke kantor Sinode GMIM selama empat tahun, hanya untuk mendapatkan hak gaji dan pensiun. Ketua Sinode, Pdt. Hein Arina dan pimpinan BPMS GMIM hanya menjanjikan akan membayar, tapi tetap mengabaikan perjuangan panjang mereka," papar Yosadi.

Ia menceritakan, dirinya memberi respons cepat ketika kedua Pdt datang meminta bantuan hukum padanya awal bulan Juni 2024. Usai membuat surat kuasa, segera didaftarkan di kepaniteraan PN Tondano. Yosadi berupaya melakukan berbagai pendekatan kekeluargaan agar hak-hak kedua Pdt bisa diberikan. Akan tetapi, dengan adanya momentum Pilkada dan kasus dana hibah yang menyeret Pdt Hein Arina ditahan Polda Sulut, membuat dirinya bersama kedua Pdt harus menunggu lama.

"Saya berharap pimpinan BPMS GMIM bisa menghargai proses hukum dan tidak mengabaikan panggilan sidang dan peradilan. Kedua Pdt klien saya yang sudah tua hanya menuntut hak-hak mereka yang belum dibayarkan BPMS GMIM. Kerugian keduanya akibat belasan tahun tidak dibayar gaji serta hak pensiunnya, ditaksir kurang lebih satu koma dua milyar rupiah," pungkas Yosadi penuh harap. (hendra mokorowu)



Sponsors

Sponsors